Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

Langit Pagi Ini


Menikmati pagi dengan secangkir senyum dan rindu

Melambungkan hasrat untuk harapan di awal masa yang baru



Masihkah aku di sana?

Di tempat nyaman yang hingga sekarang masih ingin kusinggahi

Bukan untukku

Tapi untuk hati yang menginginkan damai



Meski aku sungguh lelah berharap

Tapi akhirnya ku tersenyum menatap langit

Membayangkan bahwa aku pernah melintasi pelangi

Meski sekali



Setelah itu semua berlalu

Di ujung senyumku

Bertaut dengan senyum baruku menuju hangat mentari



Terima kasih menyapaku kembali di pagi ini

Melengkungkan senyum tipis di antara tangis



Kau masih langit yang menyimpan pijar bintangku


pict source

There is no greater agony than bearing an untold story inside you.
Maya Angelou


Guardian Angel


Tidur siang dalam kondisi yang kurang fit malah membuat saya mimpi tak jelas. Mimpi bertemu kakak saya, padahal belum ada seminggu kemarin kami bertemu.

Dalam mimpi saya melihat kakak menangis karena rindu. Tanda tanya memenuhi kepala saya, bagaimana mungkin dia merindukan saya padahal baru saja bertemu beberapa hari kemarin. Di dalam mimpi saya, kakak mengatakan beberapa rasa yang ada di hatinya. Kakak saya merindukan saya, kakak saya ingin sekali melihat saya segera menikah, kakak ingin melihat saya segera lulus kuliah, setidaknya tiga hal itu yang saya ingat dari mimpi siang kemarin.

Saya bukan orang yang terlalu bersyukur punya seorang kakak laki-laki, sejak lama saya berharap punya kakak perempuan. Buat saya kakak perempuan pasti bisa diajak curhat tenatng segala-galanya, bisa tukar menukar pakaian, bisa pergi berduaan sampai puas, dan yang pasti bisa tidur dalam satu kamar dan punya benda yang bisa dipakai berdua. Tapi sepertinya tidak begitu dengan kakak saya. Dia selalu menjadi pembela saya sejak saya masih kecil.

Saya lupa sejak kapan tepatnya, tapi kakak saya selalu ambil bagian ketika saya sedang dalam masalah. Mulai dari membela saya dari seorang kakak kelas saya ketika SD, lalu membelikan beruang coklat segede saya waktu dia study tour ke Jogja, sampai merelakan laptopnya untuk saya pakai kuliah magister padahal kakak saya juga memerlukannya.

Kakak saya memang paling baik, dan guardian angel terbaik yang pernah saya punya.
Love you, Brother.

pict source
A brother is a friend given by Nature.
~Legouve~

Gendhis yang Manis

Gendhis,
Aku tak tahu harus menulis apa padamu saat ini. Sudah banyak sekali surat yang kutulis untukmu tapi hanya akan berakhir di folder draft beberapa email-ku. Banyak hal yang aku ingin kamu tahu, tapi rasanya semua akan sia-sia saja. Jadi tiap kali aku menggebu menulis surat padamu, pada akhirnya hanya melemparnya ke folder draft. Aku tidak tahu apakah keputusanku kali ini (menulis surat padamu dan memunculkannya di sini) adalah hal baik atau buruk. Kau nilai saja sendiri, kau yang akan bisa menilai saat kau telah selesai mambaca surat ini.

Gendhis yang manis,
Aku sudah lupa kapan kita terakhir kali ngobrol, bicara dari hati ke hati, bicara serius. Bisa kau beri tahu aku? Aku hanya ingat bagaimana kau dulu malu-malu menjabat tanganku ketika pertama kali kita berjumpa. Saat itu aku tidak tahu bagaimana perasaanku padamu, yang pasti ada rasa bersalah yang terselip ketika tangan kita bertautan. Rasa bersalah karena baru hari itu akhirnya aku bisa menemuimu dan melihatmu dari dekat. Kamu imut sekali dengan rambut dikuncir ekor kuda seperti itu, daripada kamu urai atau kamu sanggul tak jelas.

Gendhis yang manis,
Berpikirlah bahwa aku jahat padamu, berpikirlah bahwa aku selalu berniat menyakitimu, apapun yang kau mau. Yeah, mungkin aku memang seperti itu. Tapi sebenarnya aku ingin bisa menyayangimu seperti aku menyayangi mbakmu. Sayangnya, jarak kita semakin jauh saat semuanya tampak tak jelas bagimu, mungkin bagiku juga. Aku tidak bisa membuat semuanya baik  (seperti harapanku ketika pertama kali aku menulis surat untukmu), malah semuanya makin buruk. Aku tidak mau menyalahkan keadaan atau perasaan. Sudah keadaannya memang harus kujalani seperti ini, bahkan perasaan benci kesal marah, emosi, bahagia pun tumpah ruah menjadi hal yang tak bisa kuejawantah.

Gendhis yang manis,
Surat ini bukan sebuah permintaan maaf, bukan pula sebuah pembenaran. Aku menulis surat ini karena aku hanya ingin menulis saja. Ingin melegakan hatiku yang selama ini mungkin terlalu sibuk merasakan rasa yang abstrak. Surat ini juga bukan penyalahan atas apa yang terjadi antara kita. Semua terjadi begitu saja. Mungkin karena ketidakmampuanku untuk memelukmu dengan hangat saat kau memerlukannya. Walau aku mungkin enggan melakukannya, tapi sempat terpikir untuk berlari ke sana dan memelukmu. Walau kau di sana mungkin merasa tak perlu aku melakukannya, karena kau punya semua hal yang sudah sangat sempurna, dan tentu saja aku bukan apa-apa bagimu dan kehidupanmu. Aku hanya sempat mampir sebentar dan meramaikan duniamu yang telah berwarna sangat indah.

Gendhis yang manis,
Kuakui bahwa aku tak pernah tahu apa yang kau rasakan di sana, apakah kau bahagia, apakah kau bersedih, apakah kau menangis, apakah kau marah, apakah kau tertawa.  Tapi apa kau juga tahu apa yang kurasa di sini, saat jauh darimu-dari pandangan matamu? Aku sebenarnya tidak pernah ingin tahu. Tapi entah kenapa banyak sekali mata, telinga, dan hati yang bersimpati padaku. Meski aku tak ingin melihat atau mendengar apapun, toh akhirnya hal yang mereka bawa ke hadapan mataku itu membuat aku pada akhirnya terlempar ke sudut gelap.

Gendhis yang manis,
Aku tidak mau menjadi kakakmu, bukan karena aku jahat atau apa, lebih karena bukan porsiku untuk menjadi kakakmu. Mahasiswa pertama yang kuajar adalah gadis-gadis seusia kamu yang memanggilku dengan panggilan “Bu”. Tapi aku juga tidak mau menjadi ibumu, aku terlalu muda untuk menjadi ibu bagimu. Hehehe. Biar kita seperti ini saja, tetap orang lain, hidup dengan batas tak kasat mata yang membatasi  hidup kita. Kau dengan takdirmu bersama seluruh pelangi yang menaungi hasrat mudamu yang indah penuh warna. Aku dengan takdirku bersama seluruh bintang yang telah menua dan mulai lelah berpijar. Kita berjalan di jalan yang berbeda dan mungkin akan tetap berbeda.

Gendhis yang manis,
Berjuanglah! Berdirilah! Berlarilah!
Jalanmu masih sangat panjang. Masih ada banyak hal yang belum kau lihat, belum kau dengar, belum kau rasakan, belum kau nikmati, bahkan belum menyakitimu. Tumbuhlah menjadi sosok yang kuat dan bisa mengandalkan diri sendiri meski kau serasa hidup di neraka. Aku pun terus berjalan menikmati apapun yang tidak mampu dinikmati orang lain. Sebuah syair lagu ini mungkin kan mengingatkan kita ... Jika hidup harus berputar, biarlah berputar. Akan ada harapan, sekali lagi, seperti dulu...

Gendhis,
Dalam benakku, kau tetaplah gadis imut yang kulihat dengan rambut diikat ekor kuda. Selain kenangan itu, aku tak terlalu ingat seperti apa kau bermain dalam benakku. Kau tahu kan kalau Gendhis itu berarti gula dalam bahasa Jawa. Kau Javanese apa bukan? (hehehe) Meski bukan Javanese, at least kau tinggal di Jawa beberapa tahun terakhir ini, saat aku mulai mengenalmu.Buatku kau tetaplah Gendhis yang manis. Gendhis = gula = manis. Ingatan itu akan terus sama, meski kau telah berevolusi menjadi gadis dewasa yang lebih anggun.


 Tiap kali melihat gambar ini pasti teringat Gendhis. Mirip sekali. Hanya warna mata, warna rambut dan warna kulit yang membedakan, selebihnya mirip. :)  (pict source)


 
If growing up is the process of 
creating ideas and dreams about what life should be, 
then maturity is letting go again.
~Mary Beth Danielson~

Do They Know?

Selamatan satu tahun mbah putri saya rasanya jadi hal yang aneh untuk saya. Aneh karena bapak saya yang merupakan anak sulung dari beliau malah seperti tidak diorangkan. Saya malas dengan masalah ini karena sudah sejak lama (bahkan mungkin sejak saya masih bayi) ketika saya dianggap tak kasat mata oleh keluarga dari bapak saya. Bapak saya yang merupakan anak sulung, dituntut untuk bisa mikul dhuwur mendhem jero. Semua mata memandang bahwa bapak saya yang harus bertanggung jawab pada semua hal yang terjadi pada keluarganya dan adik-adiknya. Padahal seringkali bapak saya tidak dilibatkan dalam banyak hal yang menyangkut keluarganya.

But see!

Bahkan ketika selamatan satu tahun mbah putri saya (ibu dari bapak saya), bapak saya tidak diberitahu. Bapak saya hanya diundang sebagai tamu yang harus menghadiri selamatan pada malam harinya.

Saya kesal!
Iya saya benar-benar kesal pada mbah kakung saya (bapak dari bapak saya). Beliau sepertinya tidak pernah suka pada saya sejak saya kecil, tapi berulang-ulang ibu selalu bilang “Mbah kakung sayang padamu kok, hanya saja cara menunjukkannya berbeda daripada ke sepupu-sepupumu.”
Huft... dan ketika waktu berjalan hingga hari ini, selalu bapak saya yang (di)salah(kan) atas semua hal, selalu keluarga kami yang terlihat buruk di mata penduduk desa.

Saya ingat, beberapa tahun kemarin ketika bapak berencana membeli mobil degan terlebih dulu membangun garasi. Mbah kakung saya, sebenarnya bukan dengan nada satir, berpesan pada saya
“Maturo bapakmu, timbang duit digawe tuku mobil luwih apik digawe tuku lemah. Lemah iso didol maneh, regane ora mudun, nek mobil rusak didol ora ono sing tuku.”
“Bilang pada bapakmu, daripada uang dipakai untuk beli mobil lebih baik dipakai untuk beli tanah. Tanah bisa untuk dijual lagi, harganya tidak turun, kalau mobil rusak dijual siapa yang akan beli.”

Saya patuh saja, meski hati saya jengkel juga diberi pesan seperti itu. Kesannya beli mobil itu dosa besar yang tidak boleh dilakukan oleh bapak saya. Toh, itu uang bapak saya sendiri, uang halal, hasil menabung bertahun-tahun di samping menyekolahkan saya dan kakak saya sampai ke perguruan tinggi.

Saya pun kadang kesal pada om-om saya (adik-adiknya bapak) yang seringkali tidak bisa melihat segala hal dari sudut pandang orang dewasa. Mereka mendengar apa yang diomongkan orang dan kemudian ditelan mentah-mentah.

Ah, saya tidak membenci mereka. Sama sekali tidak!
Saya hanya jengah melihat pemandangan yang disuguhkan di hadapan saya oleh keluarga saya sendiri. Orang-orang yang darahnya sama mengairnya dengan darah yang mengalir pada tubuh saya. Tapi entah mengapa beliau-beliau punya pikiran berbeda dengan saya. Meski saya sering kali apatis dan skeptis, tapi saya berusaha untuk tidak menelan mentah-mentah apa yang saya dengar atau saya lihat.

Saya memang tidak menyukai perbuatan mereka, tapi saya menyayangi mereka.
Dengan cara saya, dengan warna saya.

pict source
You know that when I hate you, it is because I love you to a point of passion that unhinges my soul.
Julie de Lespinasse



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date