Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

The Small Pieces Story which Blown by the Wind



“Ganteng”
Ups... keceplosan itu tanda kejujuran. Hehehe..

_________________________

Saya terdiam memandangi HP saya yang baru saja mendapat sms dari seseorang yang sebenarnya sangat saya harapkan. Sudah sejak dia lulus SMA saya menyimpan nomer HPnya, tapi belum pernah sekali pun saya berani menyapanya. Meski dalam dunia nyata, kami kenal baik tapi untuk urusan menyapa lewat sms tidak pernah berani saya lakukan. Saya... ragu dan malu. Hehehe.

Ketika tiba-tiba HP saya berbunyi, pertanda ada panggilan masuk, saya kaget bukan main hingga HP itu terlempar dari tangan saya. Huft! Tidak terbayangkan betapa saya gugup sekali waktu itu, padahal dia hanya sms dan akhirnya misscall karena saya lama tak membalas smsnya. Setelah saya membalas smsnya dengan debar yang nggak karu-karuan, akhirnya dia minta nomer telpon rumah. Biar murah, begitu katanya.

“Aku besok ke rumah kamu,” katanya di ujung pembicaraan di telepon rumah. Saya ingin bersorak sekencang mungkin. Bahagia.

“Aku sudah mau berangkat, rutenya gimana?” Dan saya pun menjelaskan dengan singkat bagaimana dia bisa sampai di rumah saya.

Dari balik kaca rayban yang memenuhi hampir seluruh rumah bagian depan, saya melihat dia membelokkan motor ke halaman rumah saya. Tak terkira rasa senangnya, serasa jantung saya mau melompat keluar. Saya benar-benar gugup ketika membuka pintu dan (saya ingat sekali kejadian itu) tidak menyalami dia, takut dia bisa merasakan degup jantung saya yang sangat keras. Tapi dia mengulurkan tangan menyalami saya, membuat saya mau-tak-mau menyambut tangan itu.

Kedatangannya ke rumah bukan berniat semata-mata menemui saya, tapi lebih pada menanyakan informasi kuliah. Saya yang tidak mampu menenangkan debar jantung, berubah jadi lebih pendiam dari biasanya. Saya nggak mau terlihat salah tingkah di hadapan dia, maka diam adalah cara yang paling ampuh.

Pertemuan itu adalah pertemuan pertama sejak terakhir kali melihatnya berseragam putih abu-abu. Sekaligus menjadi pertemuan pamungkas setelah kami sama-sama tak lagi memakai seragam putih abu-abu. Dua tahun setelah dia lulus SMA dan dua semester setelah saya lulu SMA.

Setelah hari itu, tidak ada lagi interaksi dalam bentuk apapun. Saya memilih diam dan memendam rasa saya padanya hingga beberapa tahun kemudian. Dan dia tidak jadi masuk ke kampus saya karena cita-citanya sebagai taruna TNI akhirnya kesampaian. Congratz yaaa, begitu batin saya ketika akhirnya mendengar berita bahagia sekaligus sedih itu.

____________________________

Itu kejadian 6 tahun yang lalu. Setelah 6 tahun tidak melihatnya secara nyata, baru hari ini saya menilainya dengan kata ‘ganteng’ (lagi) meski masih dalam bentuk yang tidak nyata. Hehehe... saya melihat dia mengganti profil picture FBnya dengan setelan full dress yang (menurut saya) begitu menawan.

Sejak diam-diam mengaguminya di kelas 1 SMA, saya bertahan selama 6 tahun lebih. Lama juga ternyata. Hehehe.. Tanpa pernah ada niat mengungkapkan padanya. Yang pasti saya ikut senang, dia akhirnya meraih mimpinya meski rasa saya tidak pernah tersampaikan. Lalu saya berani membuka hati untuk seorang sahabat, yang ternyata (mungkin) hanya menjadikan saya sebagai pelariannya setelah patah hati. Setelah bertahan hampir 3 tahun, saya akhirnya menyerah juga. Dan hingga kini, saya belum lagi benar-benar merasakan hal yang sama.

Hehehe... Kok malah jadi membahas tentang itu lagi.

Setelah melihat foto berjas coklat dan berdasi abu-abu tua itu, saya buru-buru log out dari FB. Saya tidak berani memandangnya lekat-lekat seperti ketika saya memandang fotonya berseragam pramuka yang saya temukan beberapa waktu lalu di dompet lama saya. Saya hanya bersyukur bahwa Tuhan masih mengijinkan saya melihat dia meski hanya sekilas melalui news feed FB yang saya log out dengan segera. Hehehe... ^__^


There is only one good, knowledge,
and one evil, ignorance.
-Socrates

Picture here



My Parents: My Teacher, My Hero

Tak ada istimewanya menjadi anak guru, bahkan meski mempuanyai orang tua yang keduanya guru. Aku tahu, bukan hany aku anak guru di negeri ini. Milyaran orang punya orang tua yang berprofesi sebagai guru. Jadi memang benar-benar tak ada yang spesial ketika aku mengakui diriku sebagai anak guru. Karena begitu aku membuka pintu rumah, maka akan sangat banyak ditemui anak guru.

Sekian puluh tahun menjalani profesi sebagai guru, aku yakin orang tuaku cukup akrab dengan berbagai problematika kehidupan guru. Mulai dari menyiapkan materi yang sangat mudah dan telah beliau kuasai bertahun tahun. Hingga kerutan kening tentang perubahan kurikulum yang mudah sekali diubah sewaktu-waktu oleh mereka yang (katanya) pakar bin ahli dalam perkurikuluman. Sebagai anak, tentu saja aku ikut merasakan apa yang mereka rasa dan pikir dari masa ke masa.

Guru: digugu lan ditiru, dipercaya dan diteladani. Begitu orang Jawa membuat kerata basa (akronim, dalam bahasa Indonesia) tentang kata ‘guru. Bahkan dalam pewayangan Jawa terkenal sekali Batara Guru yang merupakan raja kahyangan. Batara Guru juga digambarkan sebagai Dewa yang menurunkan ilmu. Lihatlah, betapa orang menghargai guru.

Dan begitu banyak pula yang bertestimoni bahwa menjadi guru adalah pekerjaan yang nyaman. Pernah mendengar ungapan semacam ini: Menjadi guru itu enak, kalau muridnya libur pasti libur juga. Atau ungkapan ini: Jadi guru itu enak, gajinya banyak dan dapat tunjangan sertifikasi pula. Mungkin bagi sebagaian orang, kalimat tersebut adalah sanjungan, tapi ada juga yang mengucapkan kalimat tersebut sebagai sindiran.

Beberapa yang menuturkannya sebagai pujian karena melihat guru bekerja di tempat yang bersih, bukan tempat berlumpur. Juga guru bekerja di tempat yang teduh, sehingga tidak harus terlalu kerepotan ketika panas atau hujan. Dan satu yang pasti, menjadi guru itu sudah pasti mendapat gaji tiap bulan.

Tapi tak jarang beberapa oknum malah jadi nyinyir melihat kondisi guru. Mereka melihat bahwa pekerjaan guru itu mudah dan nggak ada repotnya. Yaa...itu tadi pernyataan bahwa guru bisa libur ketika muridnya libur. Kalimat itu ada benarnya, tapi tidak 100% benar.

Guru punya tuntutan yang begitu besar. Tunjangan sertifikasi haru dibarengi dengan penyerahan berkas yang seabrek-abrek. Belum lagi persyaratan itu wajib diserahkan dalam bentuk ketikan rapi dan syarat-syarat lain. Aku tahu, memang itulah tugas guru. Tapi harap disadari bahwa tidak semua guru mahir mengoperasikan komputer, bahkan (hanya) mengetik di Ms. Word.

Mau bukti? Orang tuaku buktinya. Mulai berlangsungnya sertifikasi guru adalah sekitar 8 tahun lalu dan ketika itu usia orang tuaku sudah mencapai 50 tahun. Semua berkas dan persyaratan sertifikasi harus diketik rapi dengan berbagai macam peraturannya. Setelah lulus sertifikasi masih pula semua perangkat mengajar harus berupa ketikan rapi. Maka mulailah orang tuaku bersentuhan dengan teknologi yang bernama ‘komputer’, yang sedianya hanya menjadi pegangan buatku atau kakakku. Beliau belajar untuk bisa mengoperasikan komputer dengan segala pernak-pernik yang (kata orang yang sudah ahli) bisa membantu mempermudah pekerjaan.

Bagi guru muda, semua itu mudah. Tapi tidak bagi guru tua. Orang tuaku belajar menggunakan komputer dan laptop dalam pembuatan semua perangkat. Namun bagi orang yang usianya tidak lagi muda ada saja kendala yang dialami. Keadaan fisik juga kemampuan mengoperasikan. Mulai dari mata yang mudah lelah ketika menghadap layar laptop atau komputer, hingga punggung yang tak lagi kuat digunakan untuk duduk berlama-lama. Faktor usia. Juga kebingungan-kebingungan yang terjadi ketika harus menggunakan beberapa aplikasi agar lebih memudahkan pekerjaan.

Belum lagi menghadapi siswa dengan berbagai masalahnya. Mulai dari bolos hingga pelecehan seksual. Dalam sebulan terakhir ini, ibu saya mulai mengungkapkan keprihatinan beliau terhadap keadaan siswanya yang tidak lagi mampu dikendalikan. Masuk kelas ketika guru sudah di dalam kelas, tidur ketika pelajaran padahal berlarian riang gembira ketika jam istirahat dan yang paling baru adalah pelecehan seksual kepada teman wanitanya.

Menanggapi segala pendapat masyarakat di luar sana, ibu selalu berpesan, “Tidak ada pekerjaan yang mudah. Semua pekerjaan halal itu mulia. Ketika seseorang atau banyak orang nyinyir dengan profesimu, jangan latas balik menyinyiri mereka. Mereka hanya belum paham bagaimana menghargai profesi orang lain.” Berbeda dengan kata bapak, “Hidup di dunia itu hanya sebentar. Profesi apapun yang kamu tekuni, jalankanlah dengan ikhlas dan diniatkan ibadah. Pekerjaan itu adalah amanah dan tanggung jawab kita terhadap diri kita sendiri dan Allah.”

Seberat apapun orang tua saya menjalani profesi sebagai guru, beliau tidak pernah mengeluh menjadi guru. Beliau selalu punya banyak cerita ketika pulang ke rumah. Berbagai kisah tentang atasan, berbagai kisah tentang aturan, berbagai kisah tentang rekan kerja, dan tentu saja berbagai kisah tentang murid.

Sekali lagi, tidak ada yang istimewa ketika menyandang ‘gelar’ sebagai anak guru. Tapi selalu menjadi istimewa bagiku ketika beliau membawa cerita menarik ke rumah dan kami membahasnya dalam diskusi panjang hingga pada akhirnya selalu ada pelajaran yang aku dapatkan ketika cerita itu berubah menjadi diskusi.


I proud being born as my parents’ daughter,
I swear
 

<a href="http://www.indonesiaberkibar.org"><img src="http://www.indonesiaberkibar.org/img/GIB-1.jpg" /></a>
Here this is the picture's link



Posting ini dikutsertakan dalam BLOG COMPETITION 2012 yang diadakan oleh GERAKAN INDONESIA BERKIBAR.


Huft!


Ada hiburan yang bikin saya ngakak dan sekaligus merasa kasihan. Hiburan karena saya tahu kalau tweet itu sindiran buat saya. Kasihan karena saya tahu ada orang yang mengira kalau saya menulis tentang kisah lama saya.

Saya benar-benar tertawa geli membaca tweet itu. Ternyata masih saja tulisan-tulisan saya dianggap menulis tentang dia yang amat sangat jauh di sana. Tentang orang yang entah sekarang ada di mana, orang yang tidak pernah lagi terlintas dalam otak dan hati saya. Tapi masih ada saja dianggap saya menulis tentangnya.

Saya memata-matai tweet seseorang? Hahaha... Yang benar saja?
Di twitter itu pastinya akan dengan sangat mudah baca tweet seseorang yang masuk ke TL kita. Tapi kalau blog, hanya bisa dibaca kalau seseorang menuju ke alamat web blog tersebut. So, kesimpulannya adalah bukan saya yang memata-matai.

Saya sudah membuang semuanya. Semua rasa. Rindu. Benci. Masih kurang? Saya sudah pernah kehilangan akal. Saya sudah pernah kehilangan nyawa. Masih kurang lagi? Ah, kalian serakah banget. Kalian saja deh yang coba jadi saya jaman dahulu itu. Hehehe... Saya sekarang sudah hidup aman, damai, tentram, sejahtera, bahagia.

Kalau pun saya sekarang galau, bukan karena masalah masa lalu itu. Bukan. Saya juga tidak marah dengan masa lalu saya sampai nggak bisa mencintai masa kini saya.

Hahaha... Ini kok malah saya jadi nyinyir.

Sudahlah... Saya tidak peduli lagi kok apa kata mereka di luar sana. Mereka tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi pada saya dulu atau pun sekarang. Biar saja mereka menyinyiri saya sesuka hati. Cukup saya tersenyum dan mengucap selamat menikmati hidup.

Hidup adalah keindahan,
menurut pendapatku


Picture here

Kisah di Bangku Taman dan Rasaku Hari Ini


Kita duduk di atmosfer yang sama. Diam. Tak ada kata yang terucap. Meski sepatah kata pun. Atau setidaknya kita berpura-pura sibuk dengan dunia kita masing-masing. Kita. Iya, aku masih menyebutnya ‘kita’, sebelum semuanya begitu memilukan untuk dilupakan. Juga untuk diingat.
Kita berdiri dalam jarak konstan, pada mulanya. Lalu aku memilih untuk menjauh. Menikmati lekuk malam yang sunyi. Memberimu ruang menikmati kesendirianmu dalam kebersamaan denganku.
Jika saja boleh, aku ingin Oktober mengirimkan hujannya yang lebat dan menutup semua raut galauku. Namun ternyata memang hanya angin kering yang menciptakan gemersik dedaunan.
Di balik tembok tipis itu, sekian meter dari tempatmu duduk, aku menangis. Menangisi hal yang tidak pernah kutahu. Hingga detik ini. Mungkin bahagia bisa melihatmu lagi. Mungkin terluka karena akan ada hati yang terluka. Mungkin marah pada waktu yang mempertemukan kita lagi. Atau mungkin hanya efek angin kering.
Ah, seharusnya memang malam itu tak pernah ada. Malam yang akhirnya memang mencipta kelukaan yang datang di akhir. Seharusnya bangku taman itu tak pernah kita duduki. Biar bangku itu tetap tertimbun daun kering yang gugur.
Terima kasih karena kamu pernah berpura-pura meyakinkanku bahwa kau akan menghilang dari siapa pun. Tapi kamu tahu, bahwa aku lebih tahu bahwa ucapanmu hanya sekedar di mulut. Aku tidak lagi bodoh untuk percaya bahwa kau memilih pergi setelah menghancurkan perasaan yang tulus. Aku terlalu mengenal hatimu dalam segala suasana, hingga kau terlalu sering membutakan pikiran jernihku. Dan aku melihatnya sekarang. Kau terlampau bahagia untuk sebuah pilihan yang hampir kau ingkari dengan kalimat “Aku lebih baik pergi daripada menyakiti orang-orang yang kusayangi.”
Tentu saja aku tidak menangis melihat kebahagianmu. Aku cukup mencibir dari jauh. Melihat bahwa ternyata otak, mulut, dan hatimu pernah berhasil membuat luka bagi orang lain.

What is straight?
A line can be straight, or a street,
but the human heart,
oh, no, it's curved like a road through mountains.
-Tennessee Williams

Picture here
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date