Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

Dear, SA

Ini tentu saja akan menjadi tulisan terakhir di bulan April 2012. Tulisan yang mungkin akan menutup bulan ini dengan senyum saya yang lebar, meski kadang terpaksa saya harus menarik nafas dalam.

Entahlah bagaimana bisa kau hadir. Memberi seulas senyum yang tidak lagi ditarik oleh sudut bibirku.

Aku menyihirmu-memantraimu, begitu katamu. Tidak. Aku tidak melakukannya. Kau tiba-tiba tersenyum pada gadgetmu, hingga menurut temanmu kau seperti orang bodoh. Itu juga bukan karena mantraku. Duh! Aku benar-benar tidak memantraimu. Tapi akhirnya kau memilih untuk tidak bangun dari mantraku.

Sesuatu yang membuatku berpikir, apakah kau yang selama ini tertutup oleh awan kelabu yang kucipta sendirian. Di sini. Menjadikannya gelap. Atau kau memang matahari yang tiba-tiba datang menembus awan gelap. Dan akhirnya kita kini sedang berada pada payung yang menaungi hujan badai dan terik matahari.

Aku mungkin childish, bagimu. Iya! Tapi, kumohon jangan terlalu dewasa bagiku. Ini berat buatku. Setelah semua hal yang kita bagi malam itu, maka jarak membuatku sangat sensitif. Seakan ia mampu membunuhku.

Baiklah. Kusimpan pesanmu, bahwa kau akan berjuang demi kita. Aku pun demikian. Akan kujaga apa yang telah kau percayakan padaku. Kutunggu kau di batas akhir perjuangan kita. Bukan hanya demi kita, tapi juga demi mereka.

Semoga ini akan menuju akhir dari penantian panjang yang diridhoi oleh Yang Maha Mencintai.
Pict here!
 Distance does not ruin people's relationship.
You don't have to see someone everyday to be in love.
 

Menyimak Kisahmu


Kita memulainya sebagai dua sahabat. Kita seperti bocah SD yang sering berbagi makan siang. Kita seperti anak SMP yang suka bolos sekolah. Kita pun seperti ABG SMA yang sedang mencari jati diri. Entah sejak kapan, aku benar-benar lupa. Dan pastinya bukan hal yang terlalu penting kapan kita mengikrarkan diri sebagai sahabat. Semua berjalan apa adanya, tanpa ada sedikit pun yang berlebihan.

Siang itu (masih agak pagi sebenarnya) kita duduk menghadap sebuah meja kecil. Segelas jus melon nyaris habis setengah begitu pelayan meyajikannya ke hadapanku. Bukan karena haus. Bukan. Aku sedang sangat gugup untuk memulai bertanya padamu. Aku tak tahu harus mulai darimana. Karena aku tahu ini semua hal tak baik bagimu, mungkin bagiku juga.

Akhirnya aku memilih mendengarkanmu bercerita tentang bagaimana kamu menjalani harimu sejak kita tidak lagi duduk dalam satu ruang. Kamu dengan kerja kerasmu menjalankan usaha. Dan aku gelisah menunggu apa yang akan kamu sampaikan kemudian. Aku berkeyakinan bahwa kamu akan menyampaikannya sendiri, dari mulutmu sendiri tanpa aku perlu menanyakan.

“Kau pikir kenapa bisa hari ini aku ada di sini? Bersamamu, berdua saja?”
Pertanyaan yang telak membuatku diam, tertunduk, dan tidak bisa menjawab. Jujur, aku salah tingkah, tapi aku secepat kilat memasang tampang tak mengerti dan bertanya balik padamu. Lalu kusesap jus melon yang tak lagi sampai setengah gelas.

Sebuah pengakuan yang sebenarnya sudah kutahu dari mereka. Tapi sungguh aku hanya bisa diam membiarkanmu berkisah tentang semuanya. Tentang gundahmu, tentang sedihmu, tentang marahmu, bahkan tentang ketidakberdayaanmu, tentang cintamu, pun tentang lelahmu.

Aku hanya bisa diam. Tanpa banyak kata, tanpa banyak tanya. Kubiarkan kamu menumpahkan semuanya, dan aku lebih memilih menyimakmu sambil sesekali menyesap jus melon yang rasanya hambar di lidahku.

Mungkin sehambar hidupku. Dan semua yang kamu ceritakan padaku membuatku merasa bahwa hidupku semakin hambar. Aku ternyata tidak punya rasa yang cukup nikmat untuk kukecap ataupun kusesap. Aku memang hanya punya diriku sendiri. Di satu sisi aku menikmatinya, di sisi lain aku ingin menjauh dari hidupku sekarang.

Setidaknya aku masih sedikit beruntung karena kamu masih percaya padaku. Mempercayakan rahasia yang sebentar lagi harus terungkap pada publik. Kudengarkan saja semuanya, lalu kusimpan baik-baik dalam memoriku. Suatu hari akan menjadi cerita yang menuntun jalan kita masing-masing menjadi lebih baik.

Maka kini, biar aku menyimpan rapat semua hal yang harus kusingkirkan dari pikirmu. Kusimak dengan seksama, kurekam dalam kepala dan hati. Kujadikan satu anak tangga yang membantuku ‘naik kelas’ hingga hidupku akan lebih punya rasa. Kisahmu akan hidup di hatiku selamanya, kukenang dan kujadikan kisah indah yang tak tergantikan.

Kusesap untuk terakhir kalinya jus melon dari gelas di hadapanku. Sambil kuselipkan doa, agar jalanmu berikutnya dimudahkan. Pun aku berdoa agar pintaku didengar dan diwujudkan.

PS: Terima kasih telah mempercayakan cerita berat itu padaku.
Picture from here!

Love. Birthday

Bagi yang kemarin berkebaya cantik dan merayakan hari Kartini, selamat yaa.

Saya baru memposting tulisan ini, karena saya pun merayakan Hari Kartini. Saya merayakan hari Kartini versi saya sendiri. Saya bahagia.

Kalau semua orang dengan heboh menyuarakan emansipasi wanita, saya setuju. Tapi saya tidak pernah setuju bahwa wanita harus setara dengan pria. Makna emansipasi tidak seluas itu!

Emansipasi atau sering diplesetkan menjadi emansisapi bukan kesetaraan yang bisa diartikan seluas-luasnya. Silakan wanita pintar, silakan wanita berkarya, silakan wanita berkarir. Tapi kodrat wanita tidak boleh jauh dari dapur, sumur, dan kasur. Wanita harus tetap menjadi manajer yang baik di dalam rumahnya bagi suami dan anak-anaknya!!

Kartini hebat saya adalah ibu saya. Yang kebetulan berulang tahun bersamaan dengan ulang tahun R.A. Kartini.

Selamat ulang tahun, Ibu. I love you so much.
I owe the pic here!

AKU, TELEPON, LAST PAGE DAN NOUGHAT KOPI


Kapankah waktu yang kujejaki? Aku tak mampu lagi membedakan pagi, senja, atau pun tengah malam. Semua semu dan kusam. Aku menyesap pelan dingin yang dihadirkan oleh hatiku. Sesekali semua hal di sekitar ini menggodaku untuk berhenti. Tapi kuurungkan dan aku kembali murung dalam tempurung.
Aku terdiam, menatap telepon yang tergeletak begitu saja. Ada sedikit nyeri yang entah dari mana asalnya. Ada banyak asa yang kubangun bersamanya. Segala cerita yang tak mampu kusimpan tapi tak juga kubuang. Terserak berantakan di lantai kepalaku. Memenuhi ruang kosong dengan tanya sekaligus jawaban yang acak.
Homph...
Aku menyesap lagi noughat kopi yang terasa lembut di lidah. Sesaat kupejamkan mata, merasai sensasi kopi yang memanjakan lidah hingga tenggorokanku. Serta merta pikiranku kembali melayang pada benda yang sedang kugenggam. Hanya bisa kugenggam, kupandang, tanpa mampu kuberbuat banyak. Toh, aku sudah tidak bisa meratap apalagi menangis.
Hmm..
Baiklah mari melanjutkan menulis halaman terakhir, halaman persembahan. Galau. Hanya orang tuaku yang mampu kutulis untuk halaman terakhir ini. Baiklah, mungkin sebutir noughat kopi (lagi) bisa menjadi dopping mujarab yang menghadirkan inspirasi.

I owe the pic!

Cinta Cinta #3

Maafkan kami mengabaikanmu.

Kau masih ingat tidak ketika semua orang menganggap kita bisa jadi pasangan. Karena apa? You are the youngest boy, and I’m the youngest girl. Kita hanya tertawa. Tersenyum-senyum sambil menunggu waktu yang tepat untuk mengungkap fakta pada mereka. Mereka harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Suatu hari, pastinya! Tapi kita sok misterius.

Maka hari itu datang. Hari di mana kau minta aku mengerjakan semua tugas kita, karena kau sedang sibuk. Jujur, pada saat itu aku tak mengerti alasan sibuk yang kau ucap. Sampai akhirnya aku pura-pura bertanya tentang apa saja yang sudah kau kerjakan. Dan satu nama tempat terlontar begitu saja. Ahaaaa…aku paham! Baiklah mengerjakan tugasmu kuambil-alih sementara ini.

Hari itu tiba! Kau mengucap janji sehidup semati di depan penghulu. Aku bahagia! Sumpah, aku bersyukur karena hari itu tiba. Tapi aku ternyata masih harus menjelaskan pada mereka semua bahwa kedekatan kita adalah karena kau perlu aku untuk merahasiakan hari bahagiamu sebelum tiba waktunya. Kita tim hebat! Mereka terkecoh, meski mereka berpikir aku patah hati.

Hahaha…lelucon yang sangat lucu di penghujung tahun itu.
Kenangan yang indah dan penuh tawa.

Tapi kini semuanya telah berubah.
Seharusnya aku ada bersamamu di saat kau sedang terluka. Aku tahu kau memerlukan aku untuk meringankan luka batinmu. Luka atas baktimu sebagai anak.

Sudah kukatakan pada mereka, aku merasakan kejanggalan padamu. Meski belum lama aku mengenalmu, aku tetap mampu merasakan ketidak-seimbangan dalam tawamu dengan rasa di hatimu. Sebagai sahabatmu, aku seharusnya bisa menjadi pendengar baik bagimu. Tapi maaf, aku mengabaikan feeling bahwa kau sedang membutuhkanku.

Maafkan aku, sahabat. Aku terlalu sibuk dengan urusanku, dengan hedonism-ku.

Aku dan beberapa teman, akan mencoba membantumu. Kami ingin melihatmu seperti dulu. Orang yang optimis, penuh semangat, dan selalu ringan hati. Percayalah, kamu tak sendiri! Kau akan memeluknya seperti dulu. Cintamu akan kembali padamu, di tempat yang sudah seharusnya dia berada. Kau pun akan kembali merengkuh cinta orang tuamu.

Jangan bersedih, Allah bersama orang yang sabar!
Kami berdoa bersamamu, berharap kebaikan terlimpah padamu.
I borrow this pic, here!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date