Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

Rasa Ini (mungkin) Seringan Balon


Saya tertawa getir. Malah bisa dibilang miris. Saya menertawakan mereka yang (mungkin) tidak percaya bahwa warna hati saya sudah berubah dan rasa saya tidak lagi sama.

Kalian pikir saya berbohong?

Saya, pada akhirnya, merasa lebih bodoh daripada keledai, karena saya sudah percaya pada orang yang dengan sengaja menyakiti saya berkali-kali dengan dalih "Saya tidak ingin menyakiti siapapun." Iya, memang tidak menyakiti siapapun, tapi tidak pernah mau tahu kalau saya bahkan lebih sakit dari yang dia bilang 'siapa pun' itu. Saya masih ingat dulu di hadapan saya sebuah nama disebut, Nanda (bukan nama disamarkan eh maksudnya nama disamarkan) hehehe. Itu nama yang tiba-tiba terlintas di kepala saya ketika menulis posting ini. Nama itu bisa menyamarkan gender, jadi saya nyaman saja menggunakannya. Itu yang pertama saya ketahui. Lalu berlanjut pada hal-hal lain. Dan saya? Just like an idiot, do nothing but believe all the times.

"Sebenarnya kamu menyimpan rasa yang masih sama," begitu kata mereka. Itu menurut mereka! Mereka tidak pernah ada di posisi saya yang setiap waktu selalu dijadikan pelarian. Hanya sebagai 'pelengkap' ketika merasa perlu tempat bersandar. Ketika sudah cukup kuat untuk berdiri lagi, maka pengkhianatan dan pengabaian-pengabaian mulai dilakukan. Cukup bodoh memang, ketika menyadari bahwa kita ada dalam hidup orang lain yang sedikit pun tidak mau 'memandang' arti hadir kita.

Akhirnya, takdir memperlihatkan apa yang seharusnya terlihat. Itulah yang saya rasakan selama ini. Sekian waktu yang panjang ini. Menghargai seseorang di atas menghargai diri kita, tapi malah kita direndahkan serendah-rendahnya. Hal ini sering terjadi di manapun kehidupan berlangsung. Bukan hanya tentang saya dan mereka. Masih banyak kejadian di luar sana yang berhubungan dengan menghargai orang yang di junjung tinggi, tapi ,malah pengabaian yang diperoleh. Seperti yang beberapa kali kita lihat di TV bahwa banyak atlet yang dulu berjuang untuk negara ini, tapi akhirnya mereka tidak mendapat perlakuan selayaknya. Ah, ini tidak sampai pada tingkat nasional, ini hanya hubungan transaksional dan interpersonal. Hahahaha.... sudah seperti jenis teks di sekolah saja.

Mengingatkan pada sebuah lirik lagu.
....di atas hatiku kutinggikanmu, di atas hatimu kau rendahkanku…

Itulah rasa yang selama ini saya rasakan. Hingga pada akhirnya rasa itu membatu dan mengubah semuanya. Menjadikan simpati berubah menjadi rasa yang tak terdefinisi datarnya.

[Jika kau bilang rasamu sudah datar, maka dengarkan ini. Rasaku jauh lebih datar dari apa yang kau kira dan rasa itu sudah sangat datar jauh sebelum kamu merasakan datarnya. Bukankah sudah pernah kukatakan padamu beberapa waktu yang lampau bahwa rasanya tidak akan sama lagi, karena rasaku padamu telah beda. Tapi tidak pernah sekali pun aku membencimu, karena dengan membencimu akan membuatku tidak ada bedanya dengan kamu. Point my words!]

Beberapa dari mereka mungkin tidak pernah percaya bahwa saya memang tidak lagi di tempat yang sama. Itu hak mereka untuk menilai saya. Tapi setidaknya mereka merasakan, mereka tahu bahwa rasa itulah yang berkali-kali saya rasakan. Dan sekarang saya berdiri di sini, lalu tertawa miris, karena saya sudah pernah ada di posisi mereka ratusan kali sebelum sekarang. Kekesalan semacam itulah, pengabaian semacam itulah yang akhirnya membuat hati mati hingga mampu menertawakan hidup yang sebenarnya tidak lucu. Menyakitkan, malah.

Kalau mereka tidak percaya...
[Kalau kalian merasakan pengabaian itu berkali-kali, apakah kalian masih bisa merasa maklum? Mungkinkah rasa kesal yang menggunung tidak akan mengubah simpati? Akankah, sebagai manusia biasa, kalian akan sesabar Rasulullah ketika menghadapi pengabaian? Rasa itulah yang kurasa berkali-kali dan itu menyebabkan rasa menjadi datar, tapi bukan benci.]

Saya tidak membenci. Bukan berusaha tidak benci. Tidak! Tapi saya memang sama sekali tidak benci kok. Saya tidak peduli kalau saya dibenci. Saya berjalan sesuai rel saya, dan benci seseorang terhadap saya adalah kans di luar rel saya yang tidak perlu masuk dalam agenda 'untuk dipikirkan' bagi saya.

Bencikah saya pada mereka? Tidak. Benci saya akan membuat saya tidak beda dengan mereka.
Mereka membenci saya? Lakukanlah.
Tidak percaya saya? Bukan urusan saya.
Mereka merasa kesal? Saya juga sudah pernah.

A person often meets his destiny on the road he took to avoid it.
-Jean de La Fontain-


Picture here

Melamun Senja, Menunggu Ketakpastian


Saya kesal dan kangen. Dua rasa yang sama sekali nggak nyambung. Tapi begitu yang saya rasakan.
                       
Saya kangen pada orang yang -menurut saya- abstrak. Ya, hanya kata itu yang bisa saya gunakan untuk menggambarkan keberadaannya. Dia ada, tapi seperti tidak nyata. Saya melihatnya tersenyum, tapi entah apa yang sebenarnya sedang dia lakukan. Lalu dalam kepala saya muncul ide untuk membelah kepalanya seperti Frankestein, lalu mengeluarkan semua yang ada di dalam bagian tubuh paling keras itu.

Ini kriminal!
Jadilah saya membatalkan niat untuk melakukannya. Toh, saya juga tidak tahu dia sedang berada di mana.

Kekesalan saya memuncak ketika banyak pertanyaan berputar di kepala saya. Kali ini saya ingin membelah kepala saya sendiri dan mengeluarkan seluruh isinya. Saya menjumpai pertanyaan yang membuat saya berdebar hebat.

"Apa dia sudah sangat PD tidak akan kehilangan saya, sehingga tidak perlu menghubungi?"
"Apa dia selama ini hanya sungkan dengan kakak, sehingga dia melakukan hal itu?"
"Apa dia sebenarnya sudah menemukan apa yang dia cari dan saya hanya orang yang tidak sengaja bertemu?"
"Apa dia hanya menguji seberapa kuat saya ada di jalur itu?"

Itu hanya sebagian pertanyaan. Masih begitu banyak hal yang cuma bisa saya rasakan. Tidak mampu saya bagi dengan siapa pun. Karena saya yang merasakannya sendiri, sehingga membuat saya merasa nggak sanggup untuk bertanya-tanya. Saya pun tidak akan menangis, karena ini bukan hal yang pantas untuk ditangisi. Ini hanya masalah waktu dan takdir saja, selebihnya tentu saja kembali pada yang mengecat tomat. Hahahaha...

Akhirnya saya melamun, senja kemarin, seusai iftar.
Saya ingin meraih cita-cita itu, tapi saya tidak tahu harus mulai darimana. Saya memang sudah mengadu pada yang punya dia dan yang punya saya juga tentunya, tapi saya tahu masih akan ada ganjalan. Ada banyak hal yang membuat saya harus berusaha dan berdoa. Banyak perjuangan yang mesti dilakukan, tapi saya ingin dia yang meminta perjuangan. Saya ingin dia yang memulai (lagi) apa yang telah saya mulai. Tapi bagaimana cara membuat dia tahu, kalau selama ini dia tidak pernah peduli?

Pagi ini semua perasaan kesal dan kangen itu masih bersama saya. Maka saya pun diam, seperti yang dia lakukan. Tidak banyak hal yang bisa lakukan, selain menunggu takdir saya berlabuh pada hal yang saya inginkan atau hal yang sama sekali bukan keinginan saya.

Kuncinya ada pada niat baik, positive thinking, dan pantang menyerah. Akan saya coba terus. Di samping berdoa, tentu saja. Mumpung bulan Ramadhan, belajar sabar dan ikhlasnya ditambah lagi. Jadi nanti pas Ramadhan sudah selesai bisa lebih ikhlas dan sabar.

Saya harap dia bisa sedikit lebih peduli, lebih peka, karena saya ingin dia juga belajar. Meski pun saya tau kalau dia itu lebih baik dari saya dalam banyak hal, tapi belajar untuk berbagi tidak ada salahnya kok.


Never fear quarrels, but seek hazardous adventures.
-Alexandre Dumas-


Picture here

Sebuah Tulisan (saja)


Dia tahu. Aku telah meminta hal yang sama berkali-kali, sampai aku lupa sudah berapa puluh kali. Namun selalu saja jawabannya adalah “TIDAK” atau dengan modifikasi agar terkesan bahwa jawabannya tidak sama. Sebenarnya sama saja dengan permintaanku.

Dia berkali-kali merasa sakit oleh sakitku. Aku memang tidak memintanya, tapi setidaknya itu membuat aku makin tidak mengerti seperti apa aku baginya. Namaku sudah seperti nama Voldemort, yang tidak boleh disebut atau akan membuat mati jika sampai tidak sengaja terucap atau terdengar. Perasaan yang sangat halus, begitu selalu aku menyebut apa yang dirasakannya.

Sedangkan aku? Aku akan dengan biasa saja (bahkan tertawa-tawa) menggodanya dengan berbagai kemungkinan yang mampu membuatnya sakit dan terluka. That’s my bad. Aku pun tahu dia sering menangis di ujung sana ketika sedang bicara denganku di telepon. Tidak hanya sekali, entah berapa kali aku lupa. Aku? Tentu saja aku akan menggodanya dengan berbagai hal yang menurutku bisa membuatnya tertawa. Dan dia memang tertawa, tertawa sambil menangis. Padahal aku tahu pasti bahwa tertawa-sambil-menangis yang terjadi padanya itu, adalah ungkapan rasa yang lebih dari sekedar sedih.

Jika boleh meminta yang terbaik, aku ingin dia mendapatkan hal yang lebih baik dari apa yang selama ini bahkan tak mampu kuberi untuknya walau hanya setitik. Dia berhak bahagia atas luka yang begitu banyak tergores di jiwanya. Dan keinginan terbesarku adalah membebaskan dia dari rasa yang tidak mau dia tanggalkan meski sedetik. Dia harus mampu berdiri sekuat yang dia mampu, berjalan, bahkan berlari. Dia harus bisa meninggalkanku dan melepaskan semua hal yang dia sebut ‘rindu’.

Aku bukan apa-apa bahkan untuk dia yang begitu mengharapkanku. Dia harus berhenti memohon pada Tuhan untuk mengabulkan satu permohonannya yang tersisa, karena semakin dia memohon semakin dia akan sakit dan terjerembab. Jika dibilang ini adalah salahku, maka akan kujawab bahwa “Semua yang terjadi dalam hidup manusia tidak pernah ada yang sia-sia”. Termasuk ketika aku mengenalnya atau ketika akhirnya dia merasa sakit pada apa yang kulakukan.

Kini, aku benar-benar ingin dia meraih hal besar dalam hidupnya. Masih banyak cita-cita yang belum dia raih. Dia harus berjuang untuk masa depan yang lebih baik, bukan hanya menyanyikan lagu yang tidak akan membuat aku membuka mata akan kehadirannya.

Always try to keep a patch of sky above your life.

-Marcel Proust-

Picture here

I Hate Your Love


Tentang sahabatku. Aku bingung mau mulai dari mana. Aku menyayangi dia, tulus. Ah, seharusnya kata ‘tulus’ tak boleh terucap, tapi aku bersungguh-sungguh ingin dia tahu bahwa apa yang kutawarkan atas persahabatan kami bukanlah hal remeh. Aku berharap banyak hal dari kemampuan dan pesona yang dia miliki.

Bukan tentang sesuatu yang mewah dan melimpah ruah, hanya sedikit mengingatkannya bahwa aku menyukai segala kebersahajaan dan kesederhanaan yang dia miliki. Itu dulu, dulu sekali ketika kami baru bertemu. Aku ingin selalu melihatnya dalam balutan kesederhanaan itu.

Namun aku akhir-akhir ini begitu kecewa padanya. Sikapnya, hatinya, pola pikirnya telah berubah. Bahkan mungkin jiwanya telah tak lagi sama seperti ketika aku meninggalkannya berlari dan menari menjauh. Semuanya berubah begitu cinta memenuhi atmosfer jiwanya. Iya, cinta. Cinta yang salah, cinta yang tak semestinya. Cinta yang membuatku tak sanggup memeluknya lagi. Dan kutahu dia menyembunyikan cinta itu dari hadapanku, karena dia tahu saya akan menjadi orang yang paling kecewa atas keputusannya.

Sesekali aku sangat ingin membuat dia tahu bahwa aku telah mendengar semua hal dengan amat jelas tanpa dia perlu mengatakan padaku. Banyak hal yang telah sampai pada telingaku dan hatiku meski dia menyembunyikan sangat rapat dariku. Iya, tentang cinta itu. Perasaannya itu membuat aku menangis tanpa perlu dia melihatku berurai air mata.

Sekarang aku membiarkannya menikmati sensasi sakit jiwanya. Meskipun kadang satu sisi hatiku ingin menariknya sejauh mungkin. Aku ingin memeluknya dan mengatakan bahwa aku terluka lebih dari yang pernah dia bayangkan. Aku membenci rasa yang dia jadikan sebagai perangkap bagi dirinya. Aku kecewa karena cintanya.

Aku menyayangi dia sepenuh hatiku, tapi aku kecewa, terluka dan menangis. Aku ingin dia kembali. Aku ingin dia mengakui kejujuran yang dia tutupi. Aku ingin dia menjadi keelokan mataku lagi. Aku ingin mampu membuatnya menyadari bahwa segala marah dan kecewa ini adalah harapan besar untuk kebaikannya.

Demi Tuhan, aku tak ingin melihat sahabatku mencintai seorang wanita.



There is no trap so deadly as the trap you set for yourself.
-Raymond Chandler-

Picture here

Harapan Ramadhan 2012


Yippie! Setelah kemarin menunggu dengan galau selama seharian, akhirnya keputusan diambil. Keputusan bahwa puasa jatuh pada tanggal 21 Juli. Hahaha... Saya mah ikut pemerintah, karena menurut saya penentuan dengan cara melihat bulan itu lebih afdhol. Pendapat pribadi saja kok.

I know it’s random, but I remember him suddenly. Gara-gara kemarin ngobrol kalau dia dimasakkan ibu warung depan kost, saya jadi mikir untuk bilang, “Kalau ada saya, pasti saya akan masak yang enak buat kamu.” Tapi saya pun tiba-tiba tertawa sendiri. Saya memang bisa memasak, walau kadang terasa aneh di lidah orang lain karena saya tidak suka masakan asin kecuali asin yang berasal dari seafood. Jadilah selama ini saya masak seringnya kurang asin untuk selera orang lain. Dan tentu saja saya tidak mau menambah daftar ‘orang yang mengerutkan kening’ setelah menyuapkan masakan saya untuk yang pertama kali. Masakan saya memang enak, tapi saya tidak menjanjikan bahwa masakan tersebut tidak beracun. Hahaha.

Meski begitu, saya akui saya merasa sedikit sedih. Tahun ini saya masih harus menjalankan puasa sendiri. Padahal tahun lalu saya sempat berdoa bahwa saya ingin agar puasa tahun ini sudah menjadi seorang istri. Harapan yang sempat saya terbangkan setinggi awan. Tapi ketika itu pun saya merasa bahwa saya terlalu sakit untuk mulai lagi membuka hati. Bukan tidak mau move on, tapi saya akhirnya lebih percaya bahwa takdir itu tidak akan pernah tertukar dan tidak akan pernah salah meski sepersekian-miliar-milimeter.

Usaha saya sudah to the max, tapi kalau memang belum dikasih jalan berarti permohonan saya masih dipakai untuk menebus dosa-dosa yang pernah saya lakukan (begitu yang saya tangkap dari ceramah ust. Yusuf Mansyur di sebuah TV swasta). Akhirnya saya tetap bahagia menyambut Ramadhan tahun ini meski saya masih tetap sendiri. Toh, awal Ramadhan tahun ini lebih baik daripada tahun kemarin. Tahun kemarin saya mengawali puasa dengan shalat tarawih sendiri dan sahur sendiri selama beberapa hari karena bapak dan ibu menginap di rumah kakak.

Selamat menjalankan ibadah puada Ramadhan untuk semua muslim.
Semoga kita bisa menjadi orang yang lebih baik dari pada sebelumnya.
(Doa pribadi) Semoga tahun depan bisa ber-Ramadhan sebagai seorang istri. ^__^


It is better in prayer, to have a heart without words than words without a heart
-Mohandhas K. Gandhi-

Picture here

Another Story, Maybe


Ketika melihat dia pertama kali saya cuma membatin "Wow!"

Saya bukan sedang memuji atau kagum atau jatuh sayang. Swear! Itu hanya ungkapan kaget saja. Kaget kan sah saja kalau mau diungkapkan dengan kata apapun termasuk 'wow' atau bahkan 'aduh' sekali pun. Tidak ada pagu kalau ekspresi kaget itu harus diungkapkan dengan sebuah kata atau kalimat yang paten seperti ketika kita menjawab salam. Kalau ada yang bilang 'Assalamualaikum' sebagai muslim ya wajib menjawab dengan 'Waalaikumsalam'. Tapi tidak begitu dengan ungkapan kaget.

Baiklah back to the topic; dia.
Dia itu sebenarnya siapa? Saya pun sejujurnya tidak tahu. (Nahlho???) Aneh kan?! Begitulah kenyataannya. Saya tidak mengenalnya, juga tidak tahu bagaimana bisa sekaget itu. Ketika melihatnya, saya hanya tahu siapa namanya dan 'penampakan'nya beberapa waktu sebelum saya melihatnya. Tapi saya tertarik untuk menatapnya lekat-lekat, sangat dekat, dan tanpa kedip.

Apa saya jatuh sayang pada dia? Pertanyaan yang terlalu langsung, sepertinya. Namun saya memang menanyakan pertanyaan itu pada diri saya tak lama setelah melihatnya. Dan saya pastikan, saya tidak sedang jatuh sayang. Saya hanya penasaran di awal (sebelum saya melihatnya) kemudian kaget ketika melihat dia pertama kali. Mungkin batin saya ketika itu berkata, "Hmm..jadi ini dia orang yang selama ini mereka ceritakan di hadapan saya."

"Lalu bagaimana sekarang?" pertanyaan itu muncul seperti membangunkan saya yang sudah lama mati suri. (Nahlho..lebay bener yha). Saya tidak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu setelah sekian waktu.

Saya menggeleng perlahan...sangat pelan.
Saya tidak tahu apa yang baru saja terjadi pada saya, bahkan saya tidak tahu kenapa saya ditanya seperti itu. Pasti mereka salah tanya, atau mereka tidak tahu ingin tanya apa, atau saya memang benar-benar mati suri.

Akhirnya saya memutuskan bahwa saya harus menjawab, bukan hanya menggeleng. Membuka suara dan mengatakan yang sebenarnya terjadi. Setidaknya sebagai bukti bahwa saya tidak sedang mati suri ketika saya ditanyai. Toh, saya tahu jawaban apa yang harus saya beri pada mereka. Apa susahnya menjawab pertanyaan seperti itu saja, saya sudah pernah menjawab pertanyaan yang lebih sulit kok saat Ebtanas, Unas, UAN, sidang skripsi, sidang theis. (ah, mulai kacau lagi).

Sedikit intermezzo, saya memang mengalami ujian akhir sekolah dengan nama berbeda. Ujian akhir SD namanya Ebtanas (Evaluasi Belajar Tingkat Nasional), ujian akhir SMP namanya Unas (Ujian Nasional), ujian akhir SMA namanya UAN (Ujian Akhir Nasional). Dan saya tidak tahu, tahun setelah saya lulus SMA hingga tahun ini nama ujian akhir ganti menjadi apa lagi. Karena seleksi masuk perguruan tinggi pun namanya sangat beragam dari tahun ke tahun.

Saya sudah menyelesaikan 5 tahap 'ujian sekolah', kini saatnya saya berani menjawab ujian hidup. Saya baru saja melepas orang yang mampu mengembangkan senyum saya. Meski sebenarnya agak berat, tapi saya yakin bukan dia 'orangnya'. Tak ada gunanya menghabiskan waktu bersama dia, begitu saya pikir. Saya juga sudah pernah melempar perasaan mendalam saya jauh ke sudut yang tidak tersentuh. Rasa saya sudah menguap entah karena apa. Entah karena saya sangat sakit, atau karena berubah menjadi rasa lain, atau karena lelah selalu disalahkan, atau entah apa.

Baiklah, saya memang harus jujur. Setidaknya jujur pada diri sendiri melalui jawaban saya pada mereka.

"Aku belum pernah ketemu orang sependiam dia, tapi kalo dilihat sekilas dia menarik juga. Hehehe..."


Love is the extremely difficult realization that something other than oneself is real. 
-Irish Murdoch-



Picture here

Saya Tidak Peduli



Saya tidak mau membenci, lebih tepatnya tidak mampu. Saya memang membiarkan mereka berkeliaran di sekitar saya, membuat mereka merasa nyaman dan baik-baik saja. Tapi bisa saya pastkan bahwa mereka sesungguhnya tersiksa. Tersiksa karena pernah menyakiti saya. Tersiksa karena saya baik-baik saja padahal sudah pernah hampir mati karena ulah mereka. Tersisksa karena berpura-pura mengabaikan saya. “Rasakan saja rasanya!” begitu batin saya gemas. Toh, itu adalah pilihan mereka. Tolong garisbawahi bahwa saya tidak mampu membenci mereka.

Mereka yang membuat saya menjadi kaku pada mereka. Hubungan yang canggung karena saya sesungguhnya melakukan semuanya hanya untuk kesopanan saja. Kalau saya mau, bisa saja semua jejaring sosialnya saya bekukan. Ah, lagi-lagi saya tak tega. Hanya saya diamkan saja, meski saya kesal juga. Kesal karena melihat ahli berpura-pura. Dan saya membiarkan mereka hidup di balik topeng itu, selamanya. Saya tidak akan mengusik apa yang telah mereka pilih. Pun tidak mendoakan apa-apa bagi mereka.

Perasaan saya mungkin memang tidak lagi sehalus dulu dalam menghadapi mereka, tapi tetap saja saya tidak mampu berbuat keji. Ah, bahasa saya sarkas sekali. Ketidaktegaan saya tersebut tidak lain karena saya sudah tidak lagi peduli pada mereka. Apa yang mereka perbuat dulu telah membuat saya kehilangan simpati dan memilih mengabaikan segalanya.

Sesungguhnya tidak ada lagi peduli saya untuk masalah yang bukan benar-benar ada di depan mata saya. Sudah saya abaikan semua hal yang mungkin bisa mengganggu tidur nyenyak saya. Peduli saya sudah habis, mungkin. Kini hanya ada saya sendiri, tanpa rasa apapun. 


picture here

Pilihanku


Akhir-akhir ini saya jarang memposting tulisan saya, padahal saya tidak berhenti menulis. Entahlah, mungkin itu yang namanya galau menulis. Hehehe... galau aja pake alasan.

Tapi saya memang baru saja menjadi pendiam. Saya memutuskan untuk benar-benar pergi setelah sempat kembali lagi. Alasannya? Saya jawab ‘NO COMMENT’ saja lah. Ah, kenapa semua orang suka menanyakan alasan kenapa saya memilih menyelesaikan masalah dengan diam?! Sejak lama saya memang sebenarnya lebih suka diam dan memendam semuanya sendiri. Saya introvert, itulah yang mereka lihat dari saya yang rame dan ceria. Sesungguhnya mereka tahu tentang itu, tapi masih saja sering memaksa saya untuk menyatakan alasan.

Seperti ketika saya memutuskan untuk ‘break up’. Saya tidak benci, tapi saya pun mungkin juga tidak ingin berjalan bersama lagi. Dan beberapa sahabat bertanya, “Alasannya?” hehehehe. Ampun deh! Saya sudah berkali-kali bilang bahwa saya memang tidak ingin membahas alasannya, saya hanya ingin berjalan sendiri. That’s all, Fella.

Pada kenyataannya sekarang saya menikmati apa yang ada di hadapan saya. Saya kembali pada diri saya, menjadi diri saya yang sangat menyukai kesendirian meski punya banyak sahabat. Senyum saya mengembang tiap kali saya mencoba membayangkan apa yang pernah terjadi pada saya. Perjalanan yang menjadi kenangan yang benar-benar saya nikmati. Saya tidak menangis karena saya yakin dengan takdir saya.

Terima kasih, untuk yang sudah mengkhawatirkan saya. Terima kasih, untuk sahabat-sahabat yang telah berbagi dengan saya ketika saya mengambil keputusan ‘break up’. Terima kasih, untuk lagu yang membangkitkan semua mood saya hingga naik pada level ‘baik’. 

I love my life.



picture here

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date