Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

Maaf bukan untuk Janji


Kalau saja malam itu aku tak berjalan di bawah langit luas bersamamu, maka aku tak akan berada di sini. Sendiri. Sepi. Merinding. Memendam segala aliran energi buruk yang mungkin membunuhku. Tapi belum mengalahkanku.

Seharusnya memang perjalanan itu tidak pernah ada. Kapan pun. Di mana pun. Denganmu.

Seandainya aku mampu, aku akan melupakan tumpukan janji yang masih tersusun rapi di memoriku, yang bahkan kapasitasnya lebih dari 1000 terabyte. Dalam otakku. Dalam kenanganku. Yang kau akui sebagai kau adalah seorang pelupa.

I know it’s never been wrong when I saw you cheat on me. And it’s never been wrong when I say YOU NEVER WITH ME EVEN A SECOND.

Tapi aku tak pernah mampu membuat isi kepalaku jatuh ke telapak tanganmu, untuk membuktikan bahwa aku belum menganggap lunas janji yang pernah kau buat. Dan takkan pernah kuminta pelunasan karena aku tahu, itu tak akan pernah lunas. Karena aku hanya mampu memaafkan dalam marah.

An apology is the superglue of life.
It can repair just about anything.
~ Lynn Johnston

Picture here

The Way I Look at Him


Saya gemas sekali memandangnya. Saya sering kali tersenyum geli melihat tingkah lucunya yang seperti ingin mengabaikan keberadaan saya di hadapannya. Tapi saya punya banyak cara untuk membuatnya kembali berpaling pada saya. Dan dia kadang setengah terpaksa memandang saya. Menggemaskan.

Meski tak terlalu menancap dalam ingatan, saya masih ingat beberapa ekspresinya. Usahanya untuk tetap fokus pada saya begitu menggemaskan. Padahal saya tahu pikirannya sering berada jauh, sedang memikirkan seorang gadis lain. Saya suka menggodanya. Hingga membuatnya mau tak mau kembali menatap saya.

Saya suka sekali mengacak rambutnya yang lurus dan kaku. Dia tidak protes. Rambutnya dibiarkan berantakan akibat ulah saya. Namun saya sering tak tahan untuk mengulurkan tangan dan merapikan rambut itu dan dia mengacaknya lagi.

Masih jelas dalam ingatan betapa kakunya dia ketika pertama kali kami bertemu. Tapi saya segera menyadari, it was our first meeting. Setelah itu, segalanya mencair. Dia mulai menikmati kebersamaan kami. Saya pun belajar melihat bagaimana dia menjalani hari-harinya. Unik. Seru. Saya belajar lebih dalam lagi tentang bagaimana melihat dia dari kacamata saya dan kacamata dia.

Dua kali seminggu kami berjumpa. Dalam satu kotak yang ada hanya kami. Dia dan saya. Menikmati ekspresi-ekspresinya. Tersenyum, ngantuk, malas, bersemangat, dan ekspresi lain.

Ketika dia mencium tangan saya di tiap akhir perjumpaan membuat saya trenyuh. If I were him, I won’t be that though. Dunianya, jiwanya, perasaannya begitu halus. Menjalani hari sebagai anak yang harus menurut pada orang tua, namun juga ingin menikmati dunianya yang penuh dengan penghabisan energi positif.

Saat ini saya sedang membuat soal untuk UTSnya minggu depan.

Honestly, I love being with you, kiddo.
I learn many things from how you solve your unspoken feeling.


Picture here

I'm Home, Lil Kiddo


Saya kembali. Saya pulang. Ke dalam sebuah rumah yang sebagian isinya adalah damai dan tenang. Rumah yang dulu pernah menjadi tempat berlindung dari segala mendung yang menyulitkan. Rumah yang membentuk saya menjadi saya yang lebih sabar dan tenang.

Saya bahagia. Sungguh. Serasa saya mulai memungut kembali serpihan jiwa yang menghilang dari rongga raga saya. Sedikit demi sedikit terkumpul. Perlahan membentuk senyum. Kemudian saya menemukannya kembali. Sebagian diri saya.

Inilah rumah yang memang ditakdirkan untuk saya cintai. Rumah yang membagi sebagian nyaman dan aman untuk saya tinggali. Tempat berlindung dari rasa gelisah. Penampung jiwa bebas saya yang rindu penerimaan tanpa syarat. Bukan rumah yang terlalu saya impikan, namun cukup membuat saya diterima.

Saya kembali berdiri. Memandang dengan takjub (lagi) kepada sorot mata-mata mereka. Senyum mereka. Dunia mereka. Alam mereka. Dan saya. Membentuk sebagian mimpi saya.

Dan saya merasakan pulang. Untuk mereka. Menjadi teman, menjadi sahabat, terutama menjadi diri saya sendiri. Menjadi teman belajar bagi mereka yang saya panggil “Dik” atau cukup nama saja. Terlebih menjadi teman bermimpi dan inspirasi.

I don’t want to fade away, I want to flame away –
I want my death to be an attraction, a spectacle, a mystery.
-Jennifer Egan

I forget where's the source. Claim, please!

Karena Separuh Aku...AKU!


Friend: Apa kabar?
Me: Baik..baik banget malahan.
Friend: Kok jawabnya dingin banget? Kamu marah sama aku?
Me: Marah apaan?! Nggak. Aku baik-baik kok.
Friend: Kamu lagi ada masalah ya? Cerita deh sama aku.
Me: Aku nggak apa2. Aku sangat baik-baik.
Friend: Jawaban yang sama menandakan bahwa hati mengatakan berbeda.
Me: Pengulangan jawaban itu menandakan penegasan.
Friend: Memang pengalaman traumatik bikin orang tertutup.

Olalaaa... Saya malah jadi bengong membaca sms teman saya itu. Saya tidak tahu bahwa masih begitu orang yang menganggap saya belum bisa moved-on dari perasaan lama saya.

Seandainya mereka tahu... Saya sudah lama meninggalkan semua luka lama itu. Saya sudah jauh melangkah dari harapan untuk bisa kembali pada harapan yang dibuat semu untuk saya. Dan saya bisa pastikan bahwa sampai pada perjalanan saya hari ini, saya memang baik-baik saja. Kalau kalimat “AKU SANGAT BAIK-BAIK” dirasa masih belum cukup untuk mengejawantahkan apa yang saat ini sedang saya hadapi, maka saya tidak tahu harus menggunakan kalimat apa yang lebih tepat.

Ketika beberapa bulan lalu saya putus, seorang teman saya masih juga mengatakan, “Pasti karena dia lagi.” Penyangkalan saya berbuah anggapan bahwa saya memang masih larut dalam masa lalu saya. Sampai akhirnya saya hanya bisa garuk-garuk kening. Saya bingung. Benar-benar bingung mengatakan pada orang di sekitar saya, bahwa kiblat hati saya sudah saya ubah.

Beberapa minggu yang lalu teman yang lain mengatakan hal yang juga membuat saya ternganga. Ketika kami sedang membaca buku masing-masing tapi TV disetel dengan volume lirih. Saya tidak tahu acara apa yang ada di TV, tapi saya ingat sekali bahwa suara di TV mengatakan “Hati yang terlalu disakiti membuat seseorang tersebut menjadi mati rasa dan membutuhkan waktu lama untuk menyembuhkan. Bahkan bisa saja tidak bisa disembuhkan.” Teman saya rsecara reflek langsung menyahut, “Itu kamu banget deh.”

Saya memang pernah sakit hati, karena merasa disakiti. Saya yang merasa disakiti, karena saya idak tahu apakah orang lain tahu bahwa dia ketika itu sedang menyakiti saya. Saya pernah menangis. Saya pernah hampir putus asa. Saya pernah merasa bahwa saya tidak pantas untuk siapa pun. Saya pernah merasa saya bodoh, hina, hancur dan segalanya.
Tapi itu dulu.
Sekarang saya sudah bangkit. Saya berusaha mengobati luka saya sendiri. Saya mencoba hidup dengan mensyukuri apa yang sudah saya miliki ataupun yang belum/tidak saya miliki. Karena saya tahu, tidak akan ada dokter atau dukun mana pun yang mampu menyembuhkan sakit saya kecuali saya sendiri.

Sedikit kutipan dari Shahnaz Haque yang tadi sempat saya lihat di infotainment, “Wanita yang kuat adalah wanita yang tersenyum, optimis, penuh harapan, selalu berusaha, dan selalu percaya pada Tuhan. Tak ada dokter yang lebih baik dari diri kita sendiri. Dokter di rumah sakit hanya membantu menyembuhkan, tapi dokter terbaik adalah diri kita sendiri.”

For every complex problem there is an answer that is
clear, simple, and wrong.
~ H. L. Mencken


Picture here

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date