Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

Gendhis yang Manis

Gendhis,
Aku tak tahu harus menulis apa padamu saat ini. Sudah banyak sekali surat yang kutulis untukmu tapi hanya akan berakhir di folder draft beberapa email-ku. Banyak hal yang aku ingin kamu tahu, tapi rasanya semua akan sia-sia saja. Jadi tiap kali aku menggebu menulis surat padamu, pada akhirnya hanya melemparnya ke folder draft. Aku tidak tahu apakah keputusanku kali ini (menulis surat padamu dan memunculkannya di sini) adalah hal baik atau buruk. Kau nilai saja sendiri, kau yang akan bisa menilai saat kau telah selesai mambaca surat ini.

Gendhis yang manis,
Aku sudah lupa kapan kita terakhir kali ngobrol, bicara dari hati ke hati, bicara serius. Bisa kau beri tahu aku? Aku hanya ingat bagaimana kau dulu malu-malu menjabat tanganku ketika pertama kali kita berjumpa. Saat itu aku tidak tahu bagaimana perasaanku padamu, yang pasti ada rasa bersalah yang terselip ketika tangan kita bertautan. Rasa bersalah karena baru hari itu akhirnya aku bisa menemuimu dan melihatmu dari dekat. Kamu imut sekali dengan rambut dikuncir ekor kuda seperti itu, daripada kamu urai atau kamu sanggul tak jelas.

Gendhis yang manis,
Berpikirlah bahwa aku jahat padamu, berpikirlah bahwa aku selalu berniat menyakitimu, apapun yang kau mau. Yeah, mungkin aku memang seperti itu. Tapi sebenarnya aku ingin bisa menyayangimu seperti aku menyayangi mbakmu. Sayangnya, jarak kita semakin jauh saat semuanya tampak tak jelas bagimu, mungkin bagiku juga. Aku tidak bisa membuat semuanya baik  (seperti harapanku ketika pertama kali aku menulis surat untukmu), malah semuanya makin buruk. Aku tidak mau menyalahkan keadaan atau perasaan. Sudah keadaannya memang harus kujalani seperti ini, bahkan perasaan benci kesal marah, emosi, bahagia pun tumpah ruah menjadi hal yang tak bisa kuejawantah.

Gendhis yang manis,
Surat ini bukan sebuah permintaan maaf, bukan pula sebuah pembenaran. Aku menulis surat ini karena aku hanya ingin menulis saja. Ingin melegakan hatiku yang selama ini mungkin terlalu sibuk merasakan rasa yang abstrak. Surat ini juga bukan penyalahan atas apa yang terjadi antara kita. Semua terjadi begitu saja. Mungkin karena ketidakmampuanku untuk memelukmu dengan hangat saat kau memerlukannya. Walau aku mungkin enggan melakukannya, tapi sempat terpikir untuk berlari ke sana dan memelukmu. Walau kau di sana mungkin merasa tak perlu aku melakukannya, karena kau punya semua hal yang sudah sangat sempurna, dan tentu saja aku bukan apa-apa bagimu dan kehidupanmu. Aku hanya sempat mampir sebentar dan meramaikan duniamu yang telah berwarna sangat indah.

Gendhis yang manis,
Kuakui bahwa aku tak pernah tahu apa yang kau rasakan di sana, apakah kau bahagia, apakah kau bersedih, apakah kau menangis, apakah kau marah, apakah kau tertawa.  Tapi apa kau juga tahu apa yang kurasa di sini, saat jauh darimu-dari pandangan matamu? Aku sebenarnya tidak pernah ingin tahu. Tapi entah kenapa banyak sekali mata, telinga, dan hati yang bersimpati padaku. Meski aku tak ingin melihat atau mendengar apapun, toh akhirnya hal yang mereka bawa ke hadapan mataku itu membuat aku pada akhirnya terlempar ke sudut gelap.

Gendhis yang manis,
Aku tidak mau menjadi kakakmu, bukan karena aku jahat atau apa, lebih karena bukan porsiku untuk menjadi kakakmu. Mahasiswa pertama yang kuajar adalah gadis-gadis seusia kamu yang memanggilku dengan panggilan “Bu”. Tapi aku juga tidak mau menjadi ibumu, aku terlalu muda untuk menjadi ibu bagimu. Hehehe. Biar kita seperti ini saja, tetap orang lain, hidup dengan batas tak kasat mata yang membatasi  hidup kita. Kau dengan takdirmu bersama seluruh pelangi yang menaungi hasrat mudamu yang indah penuh warna. Aku dengan takdirku bersama seluruh bintang yang telah menua dan mulai lelah berpijar. Kita berjalan di jalan yang berbeda dan mungkin akan tetap berbeda.

Gendhis yang manis,
Berjuanglah! Berdirilah! Berlarilah!
Jalanmu masih sangat panjang. Masih ada banyak hal yang belum kau lihat, belum kau dengar, belum kau rasakan, belum kau nikmati, bahkan belum menyakitimu. Tumbuhlah menjadi sosok yang kuat dan bisa mengandalkan diri sendiri meski kau serasa hidup di neraka. Aku pun terus berjalan menikmati apapun yang tidak mampu dinikmati orang lain. Sebuah syair lagu ini mungkin kan mengingatkan kita ... Jika hidup harus berputar, biarlah berputar. Akan ada harapan, sekali lagi, seperti dulu...

Gendhis,
Dalam benakku, kau tetaplah gadis imut yang kulihat dengan rambut diikat ekor kuda. Selain kenangan itu, aku tak terlalu ingat seperti apa kau bermain dalam benakku. Kau tahu kan kalau Gendhis itu berarti gula dalam bahasa Jawa. Kau Javanese apa bukan? (hehehe) Meski bukan Javanese, at least kau tinggal di Jawa beberapa tahun terakhir ini, saat aku mulai mengenalmu.Buatku kau tetaplah Gendhis yang manis. Gendhis = gula = manis. Ingatan itu akan terus sama, meski kau telah berevolusi menjadi gadis dewasa yang lebih anggun.


 Tiap kali melihat gambar ini pasti teringat Gendhis. Mirip sekali. Hanya warna mata, warna rambut dan warna kulit yang membedakan, selebihnya mirip. :)  (pict source)


 
If growing up is the process of 
creating ideas and dreams about what life should be, 
then maturity is letting go again.
~Mary Beth Danielson~

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date