Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

Bernama Cinta

Hanya satu tulisan di bulan September. Bukan malas, bukan tidak menulis, hanya tidak ingin mempublikasikannya. Terlalu banyak hal yang tidak bisa dituang dalam tulisan di layar 7 inch di hadapan saya. Overall, semua baik-baik saja meski banyak hal juga yang tak terlalu baik.

Saya sedikit jengah dengan orang-orang yang tidak pernah berhenti bertanya. Terkadang, mereka yang bertanya bukanlah orang-orang yang sungguh peduli. Mereka tidak pernah tahu bahwa efek pertanyaan 5W1H yang mereka lontarkan itu berdampak seperti apa setelah mereka ucapkan atau tuliskan. Tidak ada yang benar-benar tahu bahwa saya harus menahan bibir agar tetap melengkung ke atas di saat the devil of my life wanna send them to the hell.

Agak sedikit sarkas, tapi yaa begitu lah.

Sebagian lagi bertanya tentang hal yang saya coba tutup rapat-rapat. Saya sebenarnya baik-baik saja ketika mereka berkata bahwa saya masih berdiri di tempat yang sama. Tapi saya kesal setengah hidup ketika saya dipojokkan karena dianggap tidak mau melupakan rasa saya pada seseorang. Well, apakah mengingat seseorang harus berarti melampirkan rasa yang selalu sama? Kalau saya mengingat orang yang pernah saya cintai, bukan berarti saya tidak bisa hidup tanpa dia. Walau -mungkin- rasa saya tidak pernah berubah, tapi hidup saya tetap berjalan meski tanpa dia atau orang lain.

But then, saya memilih diam karena tidak ada gunanya mendebat orang yang -ibaratnya- hanya tahu cangkang kerang tanpa pernah mengintip dalamnya. Mereka tidak pernah tahu apakah saya pernah mencium satu atau seribu orang, mereka tidak pernah tahu berapa puluh atau berapa ribu kali saya berdoa dalam sehari, atau mereka tidak pernah tahu berapa nominal yang terpampang di layar mesin ATM ketika saya memasukkan kartu kaku itu. Mereka tidak pernah tahu.

Tapi saya bisa apa selain membiarkan mereka bicara seenak kepala mereka.

Pun saya tidak mau memberi harapan palsu pada mereka yang terlalu baik itu. Mereka -juga- tidak pernah tahu bagaimana saya menjalani cinta lama saya. Mereka memang tak harus tahu, tapi saya tidak mau membuat mereka kecewa karena mendapati bahwa saya bukan orang suci seperti yang ada di dalam awan di atas kepala mereka. Bagi mereka yang tidak terlalu baik, saya tidak menangisi kepergian mereka. Saya cukup mempersilakan mereka mencari orang yang lebih baik dari saya. Saya cukup tahu diri, berdasar apa yang pernah saya lakukan demi memuaskan isi otak dan hati saya. Dan saya beri nama cinta.

Well! Done!

Rasa tanpa Nama

Saya bertopang dagu, memandang seorang wanita di hadapan saya yang juga sedang mengamati saya. Saya tidak tahu apa yang membuatnya balik menatap saya dengan tatapan nanar seperti itu. Melihatnya diam seperti itu, saya pun tak ingin bicara lebih dulu padanya. Biar dia memulai bicara jika dia memang ingin bicara padaku.

"Hei, kamu!"

Saya sedikit mendongak, bersitatap lagi dengannya. Dengan gerakan mata, saya mencoba bertanya.

"Aku lelah." Keluhnya dengan nada ditekan agar tak terdengar serak di telingaku. "Aku ingin memejamkan mata, tapi tidak bisa. Kamu kenapa belum tidur? Apa yang kamu lakukan di situ?"

Aku tersenyum tipis sambil sedikit mengangkat bahu.

"Aku ingin tidur bersamanya. Menikmati menyentuh kulitnya, mendengarnya bernafas, dan merindukannya ciumannya. Lagi." Dia menambahkan kata 'lagi' dengan penekanan. "Aku ingin seharian bergelung bersamanya di atas ranjang. Bercerita banyak hal dan merasakan tangannya di puncak kepalaku."

Aku tidak menjawab. Membiarkannya terus berujar tentang kenangan-kenangan lampau. Kalau dia pikir hanya dia yang punya masa lalu, maka kupastikan bahwa dia salah.

"Alih-alih merindukanku, dia mungkin telah sangat membenciku. Benci karena pernah menjadikan aku bagian kecil dari hidupnya. Kalau tidak, tentu saja dia masih di sini menjadi sebab dari senyum yang tak terputus. Sayangnya tidak begitu. Dia merasa hidupnya lebih damai tanpa aku, meski dia menyangkalnya."

Aku masih tidak menjawab. Tidak ada gunanya, batinku.

"Apa kamu merindukan seseorang juga?" tanyanya.

Aku menghela nafas membiarkan sedikit udara memenuhi dadaku. Mendeham, seolah membersihkan tenggorokan, kemudian, "Aku tidak bisa memberi nama rasaku ini. Biar hanya Tuhan dan aku yang tahu tentang rasa tak bernama ini. Aku pun lelah bersitegang untuk hal yang sebenarnya sangat kecil."

Dia menatapku dengan mata bulatnya kemudian tersenyum. Aku membalas senyumnya. Lalu kami masing-masing berbalik dari tempat duduk kami. Dan kuyakin punggung kami saling menjauh.


That's all.




If happy ever after did exist
I will still be holding you like this
-Maroon 5-


Selamat

Ada banyak hal yang memang tidak perlu dirayakan. Cukup diendapkan dalam hati dan dijadikan pengingat akan hal yang berharga.

Ada banyak hal yang memang tidak perlu diingat. Cukup disimpan dalam hati dan dijadikan kenangan tentang bahagia dan sakitnya.

Ada banyak hal yang seharusnya diingat. Bukan pura-pura lupa agar dianggap tidak peduli. Toh, dengan tetap mengingat tidak akan menjadikan masa lalu kembali lagi.

Tidak perlu berpura-pura masih peduli, karena sesungguhnya semua rasa sudah sengaja dikebiri. Pun tidak akan berpura-pura tidak peduli walau telah disakiti sampai mati suri.

Buatku, semua baik. Setidaknya, seperti yang diminta semua orang agar aku baik-baik. Pun sedang berusaha kuat agar tidak merepotkan semua orang dengan menarik lidah dalam dan menutup mulut rapat.

Hanya ingin mengucapkan selamat.

Selamat, karena sudah bisa melupakan masa lalu. Selamat, karena sudah bisa me-retweet salam untuk jiwa yang masih dibayangi masa lalu. Selamat, karena telah berhasil terlepas dari masa lalu. Selamat, karena aku masa lalu(mu).
Selamat, karena pada hari di masa lalu seseorang telah mempertaruhkan jiwa-raganya untuk kamu.

Selamat.

Terima kasih.

(Here they are, unsend present. I wish you could have it.)

Hantu

Tanpa sengaja saya melemparkan joke tentang lagu lama dari band yang sudah bubar. Saya hanya mengambil 1 kalimat untuk menggoda seorang teman, hingga berujung hal yang mengharukan.

Teman saya yang begitu menyukai band 'bubar' tersebut bersedia memetik gitar dan menyanyi, kemudian mengirimkan audionya di grup WhatsApp. Setelah mengirim audio, dia menulis, "Buat teman2 semua..kalian memang seperti hantu yang terus menghantuiku."

Saya mewek!

Si pengirim audio sekaligus yang menyanyi adalah partner saya dulu. Kami sering tidak akur, berselisih paham, dan marahan. Dulu. Setelah sekarang jauh dan 8 tahun tidak bertemu, saya merindukan suara itu, saya merindukan dia...terlebih saya merindukan semua hal yang berlalu begitu cepat.

Saya merasa melewatkan banyak hal ketika bersama mereka. Ada ruang kosong di kepala dan dada saya. Ruang untuk mereka. They're the reason why I do love my youth. Dan dari mereka pula saya belajar banyak hal tentang masa remaja, cinta, pertengkaran, persahabatan, bahkan kekecewaan.

Mereka hidup di hati saya sebagai sahabat lama dan akan kembali baru setiap hari. Dan saya baru menyadari bahwa sepotong lagu yang dikirim via audio itu begitu dalam maknanya untuk persahabatan kami. Maka saya belum bisa berhenti menangis dan belum bisa berhenti memutar ulang suaranya. Lagu itu pernah kami nyanyikan dulu, pernah menemani malam kami di bawah langit bertebar bintang. Dan sekarang, lagu itu hadir lagi di tengah persahabatan kami yang terpisah jarak dan terbagi oleh garis waktu Indonesia.

Well, yeah, they're the real ghost!

"Love ya, guys! Forever ever after!"


Kamu seperti hantu
Terus menghantuiku
Kemana pun tubuhku pergi
Kau terus membayangi aku
Salahku biarkan kamu
Bermain dengan hatiku
Aku tak bisa memusnahkan
Kau dari pikiranku ini
Di dalam keramaian aku masih merasa sepi
Sendiri memikirkan kamu
Kau genggam hatiku
Dan kau tuliskan namamu
Kau tulis namamu
-Dewa 19-

Hari Ini

Hari ini, insyaAllah jadi Ramadhan terakhir di tahun ini. Ada rasa sakit yang mendera dada saya. Saya masih bergelimang dosa. Saya belum diampuni. Astaghfirullah.

Dan sekali lagi harus bersiap memasang muka tembok jika pertanyaan 'itu' muncul lagi. Hahaha. Tapi karena saya masih banyak dosa maka Allah belum membantu saya menjawab pertanyaan mereka. Ini dosa saya sendiri, maka saya harus bertanggung jawab sendiri. Saya yang melakukan, maka saya yang harus menebus.

Allah knows everything in the lands and the skies, also deep inside my heart.

_________________

Hal yang sedikit membuat saya bahagia adalah kembali menjalin hubungan baik dengan teman-teman pramuka seangkatan waktu SMA. Entah sudah berapa tahun kami tidak ngobrol segila ini. Entah sudah berapa banyak cerita yang kami simpan sendiri.

Maka inilah. Kami saling menemukan. Mencoba memperbaiki komunikasi yang sempat renggang. Dan masih mencari beberapa yang tidak memberi kabar. Mencoba berkumpul ketika hampir separuh mudik ke kota kami.

The moment we spent some years ago seems appear in the name of friendship ever after.

Sebuah Lagu

....
Hati kecil berbisik
Untuk kembali padanya
Seribu kata menggoda
Seribu sesal di depan mata
Seperti menjelma
Saat aku tertawa
Kala memberimu dosa

Rasa sesal di dasar hati
Diam tak mau pergi
Haruskah aku lari
Dari kenyataan ini
Pernah kumencoba tuk sembunyi
Namun senyummu
Tetap mengikuti

(Iwan Fals, Yang Terlupakan)



Saya sedang heran kenapa Iwan Fals menyanyikan lagu itu. Tentang kenangan kah? Tentang penyesalan kah? Tentang kerinduan kah?

Saya masih heran kenapa Iwan Fals menggunakan frase 'saat aku tertawa kala memberimu dosa'? Apakah ingin menunjukkan kenangan yang tidak hilang?
Kenapa kemudian diikuti 'Rasa sesal di dasar hati diam tak mau pergi'? Menyesal? Untuk apa? Dosa? Atau penhabaian setelah memberi dosa?
Lalu apa makna dari 'pernah kumencoba tuk sembunyi, namun senyummu tetap mengikuti'? Bolehkah ini disebut sebagai sebuah kerinduan? Kerinduan yang tidak pernah mati. Tapi terlalu pengecut untuk 'kembali', pun terlalu bodoh.

Ah ya, saya lebih suka kata bodoh!
Karena hanya oranh bodoh yang berani berbuat dosa lalu (sengaja) lupa dan akhirnya hanya bisa menyesal.
Hahaha
Kalau memang laki-laki, akuilah perbuatan dosa itu jangan lantas 'lupa' (sebuah bayang yang pernah terlupakan) dan kemudian menyesal. Kalau pun menyesal jangan hanya bilang menyesal pada diri sendiri, katakanlah pada orang yang seharusnya mendengar penyesalan itu dan minta maaf lah.

Seorang adik kelas saya pernah menulis: 'Laki itu kalau hujan nggak pakai jas hujan'
Ini jawabnya ketika kutanya apa yang dipakai si pria 'laki', "Pakai payung pink bergambar hello kitty."

Oh, dammit! Dia sukses membuat saya terpingkal.

Saya tahu, itu bukan jawaban tidak serius. Itu adalah sebuah sindiran untuk 'pria penyesal' semacam pria dalam lagu Iwan Fals itu. Hanya berkata menyesal, sedih, sakit sampai tulang-tulang, tapi tidak melakukan apa pun untuk menebus penyesalan itu.

____________



Akhir juli yang mendung.
Menulis hal random.
Dengan tersisip harapan semoga ada yang mendengar lagu yang sama dengan saya kemudian mencoba merenunginya.
Bukan apa-apa... hanya saya merasa lagu ini layak juga di dengar oleh seseorang nun jauh di sana.

Seseorang yang dalam penglihatan saya menampakkan kebahagiaan. Dan saya tidak pernah berspekulasi (seperti yang juga dia lakukan) bahwa dia sedih. Saya mengatakan apa yang saya lihat, sama seperti yang dia lakukan. Saya melihat senyumnya sangat lebar, tulisan tentang queen dan tuan putri yang berbunga, maka saya menyimpulkan bahwa hidupnya bahagia. Meski dia menolak disebut bahagia, setidaknya itulah yang tampak di mata saya.

Saya memang bukan orang yang pandai membaca wajah atau senyum seseorang. Tapi saya yakin bahwa saya orang yang bisa merasakan bahwa cinta untuk saya pernah ada. Dan seperti yang selalu dia bilang bahwa perasaannya pada seseorang akan sama besar/kecilnya selamanya. Mungkin saya adalah orang yang mendapat 'porsi' paling kecil.

Ini sebuah keMUNGKINan. Saya tidak mau berspekulasi!
Saya hanya cinta.



(From me....)

Pernah kumencoba tuk sembunyi,
Namun senyummu tetap mengikuti
-Yang Terlupakan, Iwan Fals-


Tentang Foto Pagi

Menurut beberapa teman, kebiasaan baru saya meng-upload foto tentang pagi adalah hal istimewa. Saya memang menyukai pagi tapi belum pernah mengabadikannya dalam bentuk apapun. Selalu tentang bintang dan langit yang saya abadikan dalam tulisan atau pun foto.

Maka inilah komentar Tee di FB tentang foto sunrise saya (foto instagram saya kadang saya link dengan FB), "Ketenger nek isuk2 nglamun ngenteni srengenge."
*Ketahuan kalau pagi-pagi melamun menunggu matahari.

Saya tertohok membaca komentar itu pagi ini (Just info, saya upload foto sunrise kemarin pagi). Saya tidak membalasnya, hanya melihatnya dengan perasaan tidak tentu. Bagaimana dia bisa tahu kebiasaan baru itu, melamun menanti sunrise. Padahal hal itu baru saya lakukan akhir-akhir ini dan saya tidak menceritakan pada siapa pun secara langsung.

Dia stalking blog saya? Hahaha. Mustahil!
Dia tak paham tentang blog dan tidak tahu alamat blog saya. Dan yang paling penting, Tee BUKAN STALKER bagi saya. Kami sahabat baik yang  saling mendengar tanpa banyak menyela.

Mungkin saat ini saya yang lebih banyak mendengarkan Tee, dan menemani hari-hari buruknya. Bukan saya tidak mempercayainya lagi, tapi saya lebih suka tidak menceritakan hal yang sama secara berulang pada sahabat-sahabat saya. Hidup mereka terlalu perfecto! untuk mendengar hal yang sama. Maka saya membiarkan the stalkers know what they don't understand. Let them read and conclude all the things they've been stalked.

Saya memang mulai mengabadikan sunrise, meski dengan kamera seadanya. Karena matahari pagi cukup menghangatkan badan setelah semalaman menemani bintang-bintang.

Ah, saya percaya bahwa saya tidak sulit untuk dipahami. Saya hanya sulit dipahami oleh mereka yang tidak mau 'melihat' saya dan mereka yang selalu berpikir bahwa saya bisa membaca pikiran mereka.

That's all!


foto koleksi pribadi

Bicara Padamu

Inilah percakapan yang tidak akan pernah mendapat jawaban. Hanya celoteh yang ditulis untuk sekedar meringankan lelah. Pengandaian bahwa semua ini nyata meski hanya ilusi, atau mungkin mimpi. Biarlah.

______

Kamu,

Masih ingin kuceritakan tentang gadis di bawah bintang. Namun dia sekarang mulai mencintai semburat jingga langit pagi. Bukan langit sore. Langit sore membuat matanya sakit dan tentu saja mengingatkan dia pada pria itu.

Banyak sekali senja yang dilewati gadis itu dengan pria'nya' (harus pakai tanda petik, agar tidak berarti kepemilikan). Senja yang dulu menghadirkan senyum dan tawa. Senja yang pernah terlewati dengan rasa membuncah karena melihat pria itu.

Kamu,

Tahukah kamu apa yang sedang dirindukan gadis itu?!? Kamu pasti menjawab "I put my expectation on zero."
Ah, kamu. Dasar.
Dasar laut.. Bidang dasar.. Selamat dasar para tamu...
#bigsmile

Semacam itulah kira-kira. Dia merindukan kebersamaan dan percakapan yang pernah sangat 'gila' dan tak jelas juntrungnya. Dan tentu saja sangat merindukan berada dalam pelukan hangat pria itu. (Hey, aku tak tahu, apakah hangat atau tidak). Dia pun merindukan bergelung manja di samping pria itu. Menikmati hembusan napas yang teratur dan mendengarkan debar jantung pria itu.

Ketika itulah dia mulai bertanya-tanya pada dirinya. Mengapa jantung pria itu berdetak seperti biasa? Bukan seperti jantungnya yang seolah ditabuh ribuan penabuh hingga suaranya terdengar sampai ke telinganya. Jantungnya berdetak begitu kerasnya, hingga dia takut jantungnya melompat keluar. Apakah pria itu memang sedatar itu padanya?

Aku pun sering bertanya, mengapa debar jantungmu biasa saja ketika ada di dekatku. Apa yang kau rasakan saat engkau bersamaku?

Kamu,

Aku sedang sedikit berandai bisa selalu berbicara padamu, bukan selalu menceritakan gadis di bawah bintang itu. Gadis itu sepertinya mempunyai cerita yang tidak habis dikisahkan. Gadis itu memang sedang disesaki oleh rindu yang terabai. Gadis itu juga sedang menahan segala rindu agar pria'nya' bisa selalu tersenyum bersama gadis lain yang dipilihnya.  Gadis itu mencoba bertahan dan tentu saja tersenyum.

Kamu,
Baik-baik yaa di sana.

Itu saja..

And it's you whatever a moon always meant
And whatever a soon will sing is you
-E. E. Cummings-

To the One who Show Me Starlight...Thank You

Lagi-lagi aku harus bernapas berat. Kepalaku rasanya sakit, berdenyut-denyut, hingga ingin kuletakkan saja. Lagi-lagi mataku menangkap ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan bahwa dulu..ya dulu..aku pernah melihat pendar itu di mata gelap itu. Dulu. Sekali lagi, dulu.

Homph..
_______________

Kamu,

Aku sedang ingin menceritakan seseorang padamu. Dia sedang menikmati menatap bintang di langit. Menopangkan dua tangan di bawah dagu dan sesekali tersenyum.

Apa kamu tak ingin tahu apa yang membuatnya tersenyum? Mungkin tidak, tapi biar kuberitahu. Dia sedang menertawakan hidupnya. Menertawakan seorang pria yang sering tidak percaya padanya. Menertawakan betapa ternyata dia masih berharap bisa bersama pria itu.

Gadis bodoh. Gadis itu sungguh bodoh. Kamu tahu pasti kalau dia adalah gadis bodoh. Dia masih sering menuangkan segala perasaan dan rindunya pada pria itu. Mungkin saja pria itu abai padanya. Atau mungkin pria itu memang sengaja membangun benteng dirinya dan mencoba menepis semua yanh sesungguhnya gamblang. Aku tak tahu persis.

Kamu,

Masih kah kamu ingin mendengarku bercerita? Mungkin tidak, tapi biar kulanjutkan cerita tentang gadis di bawah bintang itu.

Aku tahu matanya tidak lagi se-sembab dulu. Aku tahu senyumnya sudah sedikit lebih cerah. Tapi tahukah kamu seberapa besar usahanya untuk bisa seperti itu di hadapan semua orang. Tak perlu kamu tahu! Toh, dia melakukan semua itu untuk pria yang tidak mempercayainya itu. Dia ingin pria itu tahu bahwa kenangan mereka masih hidup di hati dan otaknya hingga membuatnya harus tetap tersenyum meski berat.

Gadis itu tidak pernah tidak mempercayai pria itu. Tidak pernah! Dia percaya pada pria itu. Meski pria itu akhirnya pergi untuk gadis lain. Tapi gadis itu sempat bahagia pernah sedikit merasakan rasa sayang pria itu. Iya, sayang dari pria itu. Sedikit sayang.

Dan sekali lagi, pria itu tidak percaya. Pria itu tidak lagi mau melihat dari sisi gadis itu. Pria itu hanya punya pikirannya sendiri dan (ssstttt....bilang saja) sedikit egois. Hingga gadis itu tidak punya cara lain untuk menunjukkan sisa-sisa hatinya selain menceritakan pada bintang (dan Tuhan). Tentu saja sambil berusaha agar pria itu bisa memahami dia.

Kamu,
Tahukah kamu, bahwa gadis itu memanggil prianya sama dengan caraku memanggil kamu. Terdengar lucu, tapi memang begitulah adanya. Nama dan caranya tak ada yang beda, sejak dulu.

Kamu,
Kuharap tidak membuatku seperti gadis itu. Jangan membuat rinduku menjadi sumpah serapah bagimu. Jangan tidak percaya bahwa aku mempercayai kamu. Aku percaya, aku mengerti. Jika boleh mengutip sebuah lirik lagu: Kamu mengerti (bahwa) aku mengerti kamu
Iya kan?!

Kamu,
Ah, sudahlah.
Aku akan kembali bersama gadis itu menatap bintang. Semoga dia tidak lagi menangis karena dadanya disesaki rindu.


Goodnight stars,
Goodnight air,
Goodnight noises everywhere.
-Margaret Wise Brown-

A 'lil Light

Mr. Engineer yang pernah saya harap untuk menjadi imam saya tahun ini, akhirnya memutuskan untuk menikmati sakit hatinya. Entah sakit hati macam apa yang dia rasakan. Tapi saya menghormatinya. Sangat.

______________

Oom, kita jarang sekali bicara dari hati ke hati. Pun aku memilih tak banyak bicara meskipun sangat ingin. Bukan aku tak punya hati, aku hanya..hanya..

Ah, sudahlah.
Abaikan saja.

Sering aku bercermin dan berkata pada diriku sendiri, "Ada apanya jika aku dibandingkan istri Yunus atau istri Mas Yogi?"

Istri Mas Yogi yang begitu...ah, luar biasa..dengan dua anak yang sangat menggemaskan. Istri Yunus, meski ketika itu belum berjilbab tapi dia sangat cantik. Foto pernikahan mereka terlihat luar biasa. Dan aku luar biasa iri.

Ugh!

Oom, mungkin aku memang tidak sempurna. Tidak akan pernah. Tidak se-solehah istri Mas Yogi, tidak secantik istri Yunus, dan mungkin bukan kakak yang baik untuk Yashika. Aku tidak menyesal, aku tidak menangis. Aku hanya ingin kamu bahagia, selamanya. Dan aku tahu, tempatku bukan di sisimu.

Setidaknya, terima kasih untuk waktu mengenalmu yang sungguh luar biasa. Kita sudah cukup banyak bicara tentang banyak hal. Kuharap Ramadhanmu tahun ini, menjadi Ramadhan yang mengesankan.
Tak seperti Ramadhan kemarin saat kita masih bersama. Dan jika diijinkan berandai-andai, aku ingin kotaku bisa menjadi tujuan singgahmu, Idul 
Fitri nanti.

Hanya berandai-andai. Ah, aku tak berani banyak berharap.

Tulisan ini, kutahu, tak akan pernah kamu baca. Tapi aku pun tak sanggup jika kamu membacanya. Biar Tuhan yang tahu, bagaimana hati kita dan hati mereka. Maka biar Dia menuntun kita dengan segala kebaikan yang harus kita jalani.

Baik-baiklah di sana. Maka kucukupkan perihku, seperti kamu juga mencukupkan perihmu. Selanjutnya, dunia memang tidak diijinkan menjadi milik kita.
Kamu dan duniamu.
Aku dan duniaku.

Biar semua bisu, kelu, dan sendu menjadi saksi rasa-rasa yang mungkin tertinggal.
Selebihnya, Tuhan tahu harus kemana jalan ini.


The farther you go,
The harder it is to return.
The world has many egdes
And it's easy to fall off
-Anderson Cooper-

Sahabat Lama. Nyeet!

"Nyeet, masih ingat aku?"

Bah, ingin rasanya saya memukul kepalanya kalau saja dia ada di dekat saya. Bukan karena marah. Tapi kaeena gemas sekali.
Itulah sms dan WhatsApp yang saya terima ketika sahur tadi. Dan sepertinya juga ada tulisan serupa di timeline FB saya.

Ah, kau ini, Nyeet, bagaimana saya bisa lupa padamu?!

Saya masih ingat nama lengkapnya. Saya masih ingat bagaimana teman-teman memanggil namanya. Tapi lidah dan tangan saya kaku jika berhadapan dengan namanya.

Bukan karena apa-apa, I just accustomed to 'Nyeet'. Sejak awal kuliah dulu, entah bagaimana kami bisa saling memanggil dengan sebutan Nyeet hingga sekarang. Saking terbiasanya, kami bahkan merasa aneh jika harus memanggil dengan nama asli. Dia selalu memanggil sya 'Nyeet', saya pun memanggil dia 'Nyeet'.

Bagaimana bisa saya lupa dengan si Nyeet, sahabat lama saya. Dia terlalu berbekas di benak saya untuk dilupakan. Kami sudah melewati persahabatan bertahun-tahun, dan berbagi banyak hal.

Saya selalu ingat, bagaimana dia dulu (semasa kuliah) mengsms/menelpon saya setiap ada masalah dengan ceweknya. Dia tidak malu mencurahkan semuanya pada saya. Begitu besar percaya yang dia tumpukan pada saya.

Begitu pun saya. Dia adalah orang yang tahu tentang hubungan saya, ketika (bahkan) sahabat dekat saya tidak tahu. Saya mempercayainya menyimpan rahasia-rahasia saya. Maka dialah yang saya telpon ketika saya selesai menyusut air mata terakhir dengan pria tersebut.
Mungkin hanya dia yang tahu bagaimana saya melewati puasa di tahun 2009 dengan tangis hampir tiap malam. Dia pulalah yang selalu menyemangati saya untuk move on and stay strong.

Yah, begitulah tahun-tahun yang lalu. Hingga kami tenggelam dalam kesibukan masing-masing dan hampir tak ada kontak. Maka hari ini, ketika sahabat lama saya itu menyapa saya, rasanya memori masa lalu berputar lagi di benak saya. Kami bercerita bagaimana usaha kami untuk terus hidup meski tidak selamanya hidup itu indah. Kami pun berkisah bagaimana hidup dewasa kami mulai membuat kami rindu pada bangku kuliah dan kebersamaan semasa kuliah.

Nyeet bukan hanya teman bagi saya. Dia pernah menjadi tongkat penopang yang membuat saya bisa terus berjalan dan tegak berdiri. Nyeet juga yang membuat saya tahu bahwa ada kepercayaan yang bisa dibagikan untuk orang lain. Nyeet memang bukan orang yang selalu ada di dekat saya, tapi dia yang saya repotkan ketika saya menangis. Nyeet juga yang dulu sibuk menenangkan semua marah dan tangis saya.


Nyeet, kita akan tetap menjadi duo Nyeet dengan panggilan abadi Nyeet. Persahabatan kita akan selalu seperti ini sampai maut memisahkan. Aku akan membawamu masuk ke dalam keluargaku kelak. Kamu akan menjadi sahabatku, juga sahabat suamiku, dan anak-anakku.
Kuharap kamu pun tidak malu mengakui bahwa aku adalah (setidaknya, pernah menjadi) sahabatmu.


Life is not so idiotically mathematical
that only the big eat the small;
It is just as common for a bee to kill a lion
Or at least to drive it mad.
-August Strindberg-

Sesuatu kepada Tee

Mau sampai kapan kamu seperti ini?
Harus sampai kapan aku menerima sms tentang lukamu?
Berapa malam yang akan kamu lewati dengan tangis?

Aku tahu bukan rindu padaku yang ingin kamu sampaikan. Kamu merindukannya. Merindukan dia yang tiap hari kamu pandang. Dia yang telah mengucap janji suci di hadapan Tuhan. Dia pula yang tiap hari membekaskan sembab di kedua matamu.

Aku tidak akan memintamu berlalu. Tidak!
Tempatmu yang benar adalah di sampingnya. Kamu tidak boleh pergi kemana-mana. Kamu harus memintanya bertanggungjawab atas janjinya. Kamu juga harus bertahan. Meski kamu selalu bertanya "Apa aku harus bertahan demi akhir indah milik orang lain?"

Ah, kamu membuat lidahku kelu.

Aku ingin memelukmu jika aku di dekatmu. Tapi aku bisa apa dengan jarak ini?! Aku hanya bisa berkata-kata. Selalu hanya kata-kata. Dan itu juga membuatku sakit. Lebih dari yang kamu tahu.

Tiap kali kamu menangis, kamu menggoreskan satu luka mendalam untukku. Kamu seperti menamparku dengan kenyataan bahwa aku pernah menempati posisi yang sama dengan 'dia'. Tapi bukan itu masalahnya saat ini. Masalahnya adalah aku tidak ingin kamu terus menangis untuk masalah yang sama.

Kamu terlalu banyak diam dalam sakitmu. Kamu sudah terlalu sering menangis untuk alasan yang sama. Kamu sudah terlalu banyak menyimpan lukamu. Kamu pun (kutahu) terlalu marah pada takdir dan pada cinta mereka.

Kamu pun punya cinta besar, yang lebih besar dari cinta mereka.

Jika saja kamu masih seperti ketika kutinggalkan di kotak di samping kebun tebu waktu itu, maka aku akan memintamu pergi. Tapi kenyataannya sudah berbeda. Kamu tidak bisa selamanya hanya berkisah padaku tanpa berkata jujur pada mereka.

Tapi kamulah yang memegang kendali. Kamu yang
punya hati dan otak yang akan senantiasa menemanimu sampai ujung wakti. Kamu juga yang mengenalnya lebih dari siapa pun.

Mau sampai kapan kamu seperti ini?
Harus sampai kapan aku menerima sms tentang lukamu?
Berapa malam yang akan kamu lewati dengan tangis?


Laugh all you want
and cry all you want
and whistle at pretty men in the street
and to hell with anybody who thinks you're damned fool!!!
-Armistead Maupin-

The Stories of Heart

(KISAH SATU)

Seseorang memakai jas hujan tampak sedang menunggu seseorang di ruang tunggu terminal. Berkali-kali dia melongok ke jalan raya dan berharap sebuah kotak besar akan menurunkan seseorang. Berkali-kali pun dia melihat layar ponselnya.

Itu dia. Sorakan dalam hati yang diikuti oleh lambaian. Maka inilah yang terjadi, sebuah pertemuan yang canggung. Hanya ada senyum kaku dan sapaan basa-basi ala dua orang yang lama tak berjumpa. Ditingkahi gerimis tipis, mereka lebih sering kehilangan arah pembicaraan.



(KISAH DUA)

Aku tidak ingin bicara apapun pada siapapun. Aku merindukan sahabat-sahabatku. Mereka, yang mungkin, bukan pemberi semangat yang hebat. Tapi mereka selalu bisa kuandalkan untuk mendengarkan ceritaku tanpa menyela. Tapi aku kembali tersuruk di sini. Diam di antara tumpukan kertas dan berbaris-baris huruf.

Tak ada keinginan untuk lari atau pergi. Mencoba menikmati dingin dan sepi. Berjalan seperti hari kemarin. Membiarkan semua rasa dan lelah itu hilang bersama berlarinya waktu.

Aku sakit memang, tapi kumohon biarlah. Kumohon, jangan memintaku berbuat sesuatu yang lebih menyakitkan. Kumohon, berhentilah berbicara seolah-olah aku adalah beban terbesar.

Jika saja aku tidak menyayangi semuanya, aku akan memilih untuk menjauh dan melakukan semua yang kuingin. Karena aku menjadi 'anak baik' maka biarkan aku berjalan seperti adanya. Terlalu sakit untuk mendengar tiap kata dan kalimat sindiran seperti itu.

Sakit sekali! Percayalah!

Aku bukannya tidak melakukan apapun. Sungguh, aku telah bersungguh-sungguh. Kini ijinkan aku tenang. Menikmati lelah dan sakit ini sendiri. Sekali lagi kumohon, berhentilah berujar seolah aku hanya seorang yang tanpa daya dan upaya.

Aku lelah. Teramat lelah. Aku lelah menunggu, aku lelah mencari, aku lelah memohon, aku (bahkan) merasa lelah untuk lelah.

Kumohon, hentikan semuanya. Kumohon.



(KISAH TIGA)

Dia berdiri di sana. Di bawah hujan deras yang mengantarkan gigil. Tanpa kata, tanpa suara. Tapi dia terluka, dia menangis dalam diamnya.

Dia menatapku cepat. Mata yang terbiasa berbingkai kaca itu mungkin tak sanggup mengenaliku di bawah hujan yang terlalu deras. Maka aku mencoba menghampirinya.

Kuangsurkan payung, yang masih terlipat, padanya. Aku sendiri memegang payung lain. Matanya menatapku takjub. Dan di mata itu kubaca ribuan cerita, cinta, tawa, bahkan duka dan luka.

Aku menyentakkan payung itu agak keras. Bisa kulihat geragapnya. Dan dia hanya tersenyum canggung. Maka detik berikutnya, senyumnya berhasil menghilangkan raguku. Ragu bahwa dia sedang menangis. Karena sembab itu makin tampak ketika wajahnya diusahakan untuk tersenyu.

Sebuah gerakan anggun bisa kuartikan bahwa dia menolak payung yang kuberikan. Dia kembali tersenyum canggung, meski sekarang terasa lebih canggung.

Gadis bodoh, gumamku dalam hati. Bodoh karena tidak menerima bantuanku. Bodoh karena senyumnya makin membuatku tahu lukanya. Bodoh karena dia sebenarnya tahu bahwa hujan adalah bencana besar bagi hidupnya.




I've learned that
Some stories have no
Clear beginning, middle, and end
There's no story created to be so that perfect
-Asmara Nengke (me myself)-






posted from Bloggeroid

Pagi ini

Pagi yang sangat mendung. Hujan kemarin sore hingga tengah malam, membuat pagi tertutup kabut tebal. Dan sudah sesiang ini tapi belum ada matahari.

Saya pun masih gegoleran di tempat tidur, ditemani buku-buku unfinished. Buku yang sudah lama terabaikan, berjajar begitu saja di lemari buku setelah terbeli dari toko buku atau online shop #miris
Hehehe

Ketika (salah satu) lagu favorit saya terdengar dari mp3 player, saya baru sadar bahwa saya sudah lama tidak mendengarnya. Lalu ada hangat menjalari dada saya. Seperti ada yang menyalakan api unggun di dalam sana.

Saya seperti sedang...sedang jatuh cinta.
Iya, benar, saya merasa sedang jatuh cinta.
Entah pada siapa.
Ah!

Mungkin saya hanya berlebihan. Ini efek dari mendung pekat dan kabut tebal di luar sana, ditambah pula membaca buku dan mendengarkan lagu. Dan, sungguh, dada saya tiba-tiba terasa hangat.



Kamu,
Siapa pun kamu (aku tak pernah tahu), pernah kah berharap berjumpa denganku. Sedetik, mungkin? Atau sekelebat pandang?
Ah, kau tak mungkin mendengarku. Tentu saja. Karena aku tidak pernah tahu seberapa jauh jarak antara kita. Jauh. Atau mungkin 'jauh'. Tidak ada kepastian dari kedua konteksnya.
Kamu,
Aku hanya tahu bahwa kamu ada. Kamu nyata dan hidup. Selebihnya, aku masih terus mencarimu, menemukanmu, dan memandangmu.
Jika nanti atau besok kita berjumpa, sudikah engkau menyapaku? Satu kalimat, satu kata, "Hai" Berlebih kah? Apabila terlalu banyak untukmu, maka senyum saja. Seulas senyum tipis.



You'd always be part of me
I'm part of indefinitely
Boy, don't know you can't escape me
Oh darling, cuz you'll always be my baby
And we'll linger on
Time can't erase feeling this strong
Mariah Carey






posted from Bloggeroid

Kenangan, Hati, dan Rindu

Apa yang tersimpan dari perjalanan yang lalu.

Rasamu kah? Atau rasa siapa?

Entahlah.

Mungkin kini tersisa rindu dan remah-remah hati.

Selebihnya; kenangan.

Mimpi


 
Masih sama. Masih utuh. Aku bersandar pada ketiadaan untuk memandang bintang. Menatapnya sendiri.  Sempat kuberharap menangkap bayangmu pada kilaunya. Hingga akhirnya kusadari kemustahilan itu.


Kamu mungkin telah asyik menikmati bintang pada langit yang lain. Atau kau mungkin tak ingat pernah bersamaku di bawah bintang. Kita berdua, hanya aku dan kamu, berbicara tentang lagu-lagu tanpa sedikit pun mengucap rindu.

Ah, sudahlah. Aku terpaksa harus menata hatiku lagi. Memintanya berhenti menangis menghadapi keras hatimu. Dan setengah mati berusaha menahan diri agar tidak lagi bertanya mengapa hanya sedikit hati yang kau beri untukku. Aku akan mencoba tidak bertanya, meski aku belum menemukan jawabnya.

Jika suatu hari aku mati lebih dulu darimu, aku tidak ingin menjadi bintang yang bisa kau lihat. Aku akan menyimpan semua tanyaku sendiri. Membiarkan langit perlahan menghapus lukaku dan tidak lagi bertanya apakah kau ingat bahwa kita bersama pernah bersama-sama membalut luka.

Oiya...aku lupa bahwa kamu pelupa. Atau mungkin sengaja lupa.

Bagimu, memang aku-lah yang selalu tidak mau mendengarmu. Tapi pernahkah kamu mendengar bahwa aku aku ingin kamu bersamaku. Pernahkah kamu dengar? Oh, maaf, aku lupa lagi bahwa kau pelupa.

Hanya satu hal yang aku ingin dari kita, tapi itu sudah membuatmu kesal setengah mati dan tidak berharap memaafkan aku. Seburuk itu kah aku di matamu? Sekesal itukah kamu menghadapi permohonanku untuk bisa bersamamu?

Jika semua yang kukatakan kau anggap bahwa itu yang harus kamu lakukan. Maka aku tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk memecahkan kepala batumu dan membuka lebar matamu bahwa aku tidak pernah serendah yang kamu pikir.

Baiklah, kamu memang punya hati dan otak sendiri. Aku akan mencoba bermimpi sendiri, bahwa kau akan mau mendengarku.

Mungkin hanya mimpi.




Apa Kabar?

Apa kabar, Langit? Sepertinya sudah lama sekali aku tidak menatapmu dengan lekat. Masihkah kau ingat padaku? Atau masih bolehkah aku memandangmu? Aku merindukanm
Entah sejak kapan aku berusaha menutup mata untuk tidak memandang semua indah dan pesonamu. Dan aku sering mendesah resah, apakah aku bisa terus berpura-pura tersenyum. Aku tidak tahu.

Apa kabar, Bintang? Masih pantaskah aku mengadu padamu? Menyelipkan titik-titik noda dalam pendarmu yang sempurna. Dan aku merindukanmu menyaksikkan apa yang kucumbui di bawah sinarmu.

Apa kabar, Hati? Sudah sejauh mana kau melangkah meretas sepi, menjelang mimpi? Ah, kau masih di sana. Di tempat yang hanya ada rasa, rindu, dan cinta. Dan hanya ada kita di tiap jengkal detik yang merambat perlahan.

Aku kembali di sini. Setelah sekian waktu menangkap galau yang mereka kirim, merangkul bahagia yang mereka tuai, pun menemani jejak yang mereka tebar di sepanjang hari.

Dan inilah pertanyaan yang mereka luncurkan, yang tanpa sengaja membuka pintu yang kucoba tutup. "Kenapa kalian tidak lagi bersama?" atau "Apa yang membuat kalian berpisah?" atau "Kenapa muncul panggilan seperti itu?"

Lucu, memang. Tapi percayalah, sakitnya menampar dasar hati. Dan setiap detil masa, tawa, dan cinta kembali memenuhi otak dan mataku. Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa tersenyum pahit dan berharap tidak ada lagi pertanyaan dan penanya yang lain.
Apa kabar, Kamu? Kamu yang tidak ingin kurindu, kamu yang selalu benar atas salah yang kulakukan pada hidupmu. Setidaknya aku memang tidak tahu kamu menangisiku, pun semua orang tidak tahu.

Karena senyummu terlalu bahagia untuk kupandang sebagai sebuah tangis. Maka biar hanya aku yang tahu bahwa aku pernah sedikit mengisi hatimu. Dan perasaanmu padaku masih akan sama kecilnya dengan ketika waktu itu kuberikan seluruh cintaku padamu.

Biar hanya Tuhan yang tahu mengapa sampai saat ini kumasih sendiri.

Apa kabar, Cinta? Masih belum ingin kembali hadir di hatiku? Baiklah, semoga suatu hari akan memenuhi hidupku.



Aku Mencintaimu, karenanya Aku Merindukanmu


Aku rindu kamu, tahukah kamu? Sepertinya tidak.
Maka aku menikmati kerinduan yang membungkus hatiku dalam sepi. Aku berdoa di bawah langit malam agar kamu senang dalam siangmu dan tenang dalam lelapmu. Aku pun menitipkan potongan rindu di tiap kilau bintang. Berharap agar tiap potongan itu bisa tertangkap dalam cahaya bulan dan tersampaikan padamu.

Aku ingin memelukmu. Aku akan menyimpanmu dalam dekapku, menjagamu dalam kecupku, dan mengikatmu dalam hatiku. Aku belum bisa berhenti melukismu dalam mata dan anganku. Aku pun telah setengah-mati tersiksa menatap setiap potongan kenangan yang kau tinggal di kotaku. Aku masih setia berujar pada bintang, bahwa aku melihatmu di tiap sudut yang kita singgahi.

Kisah kita akan selalu hidup di jiwaku. Memasungmu dalam kenangan yang tidak henti menguarkan aroma rindu. Pun memaksaku menahan rindu akan hangatnya pelukmu dan debar halus jantungmu. Rindu membiru tentang darah kita yang berpadu dalam sekat setipis kulit ari. Namun kini, hanya sanggup kukenang dalam waktu yang terus berputar tanpa jeda.

Aku mencintai kamu, karenanya aku merindukanmu. Tapi pertanyaanku masih sama, seperti yang kutanyakan pada bulan yang menggantung bulat di langitku, semalam: apakah kamu juga merindukan aku?

Sorrow is how we learn to love.
Your heart isn't breaking.
It hurts because it's getting larger.
The larger it gets, the more love it holds.
-Rita Mae Brown

Picture here

Rasaku yang Bicara


Aku tidak ingin melupakanmu.
Aku tidak mampu.
Adakah alasan terbaik yang menjadikanmu tidak penting dalam hidupku?
Tidak!

Bukankah semua tanya hanya akan menjadikan namamu sebagai jawabnya?
Membuat semua tanyaku hanya tertahan di lidah.
Memaksa semua rasaku memenuhi dada hingga sesak.

Aku masih ingin memilikimu.
Tak tergantikan. Tak terbagi.

Aku ingin berangan. Berharap. Bermimpi.
Maka mencintaimu adalah harapanku –meski dalam bahagia mencintai ada luka yang tercipta dari perpisahan.
Aku perlu waktu untuk mengerti.
Mungkin seumur hidup.

Aku masih ingin bersamamu.
Membangun cita-cita setinggi awan.
Aku pun ingin kau merasa yang sama. Seperti aku menerimamu tanpa kecuali.

Kenangan bersamamu tersimpan selamanya.
Tak tergantikan. Tak terlupakan.
Jangan memintaku melupakanmu.
Karena mengurangi cinta ini sedikit saja terasa sangat sulit bagiku.

Seharusnya kamu tahu, seperti apa aku mencintaimu.
Cinta yang tidak pernah menghadirkan rasa jenuh dan kata lelah.
Pada akhirnya, aku memang mencintaimu. Aku hanya ingin kau melakukan hal yang sama kepadaku.

 
Dia punya janji, mencintaimu saat ini.
Aku punya hati, mencintaimu sampai mati.
-Robin Wijaya (Reason)

Picture here
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date