Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

A Piece of Memory


“Dulu setiap kali ketemu Bu Mara, Bu Mara selalu bilang ‘Semangat ya, Nduk!’. Sekarang ndak ada yang bilang seperti itu lagi.”



Pagi ini saya menangis lagi. Menangis karena rindu yang benar-benar membuncah. Rindu yang tumpah ruah, mengembang meraksasa dalam dada saya. Dada saya terasa sesak, ujung jemari sedingin es, dan bibir kelu tak bisa berkata-kata. Hanya bisa menatap cermin yang tiba-tiba menampilkan semua kenangan yang pernah indah dan pernah mengharu-biru.

Saya merasa ingin sekali menyalahkan keadaan saya, bahkan menyalahkan kekakuan saya. Kalau saja saya bisa sedikit lebih fleksibel, dan bisa diajak kompromi, maka saya mungkin akan bisa bertahan lebih lama. Tapi, maaf, saya tidak suka sebuah ‘organisasi’ yang tidak sistematis. Mungkin saya terlalu idealis, tapi saya tidak bisa tahan kalau semua hal dan semua orang dianggap tidak penting. Saya yang akhirnya merasa menjadi musuh bagi mereka yang tidak menyukai pendapat saya yang pada akhirnya menganggap saya tidak profesional bahkan tidak cakap dalam berbuat apapun. Saya terima semua caci maki dan penilaian, karena penilaian manusia sama sekali tidak mutlak dan sangat subjektif. Saya tidak suka mencari muka, saya punya ‘penilai’ yang sudah pasti adil dan bijaksana tiada tanding di belahan bumi mana pun.

Sekali lagi saya tekankan pada diri saya sendiri, bahwa saya bekerja bukan untuk hidup saya sekarang, tapi juga untuk akhirat saya. Saya sudah terlalu lelah bekerja tetapi menyalahi Tuhan saya. Saya bukan orang yang terlalu religius, tapi setidaknya saya masih punya iman yang saya yakini. Segala keputusan untuk berkata dengan berani “I QUIT” telah saya ambil, bahkan risiko menjadi pengangguran yang tiap hari hanya menghabiskan waktu di sekitar ‘kasur, dapur, dan sumur’. Saya tidak menyesal!! Tidak pernah menyesal!!

Tapi ketika pagi ini mahasiswa-mahasiswa saya menelepon dan berkata bahwa mereka rindu, hati saya terasa trenyuh. Mereka masih ada di hati saya, dan saya pun ternyata masih ada di hati mereka. Mereka merindukan saya, begitu pun saya merasakan yang sama. Mereka mahasiswa pertama saya. Menjadi bagian mereka, telah begitu banyak mengajarkan pada saya tentang menjadi guru yang sebenarnya, menjadi manusia yang lebih berguna bagi sesama, mereka menggoreskan begitu banyak warna dalam perjalanan saya. Mereka yang tanpa saya (dan mereka) sadari menjadi angkatan favorit saya. Mereka menjadi favorit saya bukan karena mereka mahasiswa pertama saya, tapi karena kedekatan yang terjalin antara kami selama dua tahun kemarin begitu melekat rekat. Meski sebenarnya saya memang berusaha menjadi sahabat bagi semua mahasiswa saya. Saya pun berusaha dekat dengan semua yang ada di sekitar saya. Saya menerapkan bahwa saya adalah sahabat mereka, namun mereka tetap menghargai saya sebagai seseorang yang mengajar di depan kelas mereka.

Saya mencintai semua murid saya, tak peduli siapa mereka, dari mana asal mereka, seperti apa hidup yang mereka jalani, mereka SEMUA adalah favorit saya.

pict source
  To look backward for a while is to refresh the eye,
to restore it, and to render it the more fit 
for its prime function of looking forward.
 ~Margaret Fairless Barber~

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date