Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

Apalagi Sekarang?


Saya merindukan sosok itu. Seperti rindu mendalam saya padanya, yang berjajar indah di tahun-tahun terdahulu.

Seminggu lalu saya mengobrol dengannya semalaman lewat telepon. Inilah yang kami lakukan kalau lama tidak ngobrol, menghabiskan waktu berjam-jam dan menghabiskan pulsa puluhan ribu. Bukan saya yang minta meski saya rindu dia, dia yang selalu melakukan itu. Tapi di lain sisi, saya tahu dia menyalahkan saya karena menolak menjadi (kalau pinjam istilah dia) orang spesial baginya.

“Aku sudah biasa ditinggalkan,“ katanya.

“Apa aku meninggalkanmu juga?”

“Menurutmu?”

“Yang aku tahu definisi meninggalkan di otak kita saat ini tidak sama.”

“Kita tidak saling meninggalkan, kita hanya sibuk masing-masing.”

Jawaban yang sungguh diplomatis untuk membenarkan penyataan sekaligus pertanyaan yang saya lontarkan. Saya tertawa saja dan saya menyadari bahwa dia masih mungkin untuk sakit hati pada saya ketika (hampir) 3 tahun yang lalu, melalui telepon, saya memilih untuk tidak menjawab apapun tentang permintaannya menjadi pacar. Dan ketika dia datang lagi 10 bulan lalu dan kembali mengungkapkan pernyataan yang sama, saya masih hanya tersenyum.

Ketika itu, “Your ring. It means you are taken.”

Saya tersenyum, dan dia mengatupkan tangan ke muka. “From my mother,” jawab saya pada akhirnya.

“It means, you are single.”

“I’m still your friend as you see 7 or 8 years ago when you left us, Fitri, Elok, and I. The differences are the only what I’m wearing now. I used to wear school uniform and sport shoes, but now I’m wearing blazer and high-heels.”

“Yeah, I should know it. You still with those sweet smile.”

“Hahahaha. Gombal tingkat dewa!”

“I’m serious. Would you be mine, as I asked u two years ago by phone.”

“Hahahaha. You must be kidding me.”

“Kau belum berubah. Berubah berpaling padaku.”

Saya memang tidak banyak berubah tentang perasaan pada dia. Saya mengenal dia sekitar 8 tahun lalu saat pembagian jurusan di SMA. Saya tidak menyangka bahwa orang seperti dia akhirnya memilih masuk jurusan bahasa, yang saat itu dianggap rendah oleh banyak pihak. Pikiran saya ketika itu adalah “Tuhan, kenapa saya harus sekelas dengan freak ini?”

Entah bagaiman awalnya, kami jadi bersahabat, menghabiskan banyak waktu berenam (sayangnya belum ada inspirasi untuk menceritakan kisah tentang enam sahabat ini). Waktu berjalan, dia yang dulunya penuh dengan semangat berubah jadi trouble-maker yang menyebalkan bagi setiap orang. Saya dan Fitrya harus menjadi ‘anjing penjaga’ yang menelpon ke rumahnya tiap kali dia bolos. Saya tidak pernah menjadi penelpon pertama, karena saya tahu kalau saya yang telepon pasti dia akan menolak menerima. Selalu Fitrya yang menelepon pertama, baru kemudian saya akan mengomel dan marah-marah menyuruhnya masuk sekolah. Hahahaha.

Mind set saya terhadap dia tidak berubah. Sebagai penggemar presiden pertama di negeri ini, dia terlalu fanatik lalu mengenyampingkan hal lain. Dan saya tidak pernah menyukai ke-fanatik-an itu. Bagi dia, negeri ini berhutang budi pada beliau. Bagi saya, negeri ini akan tetap merdeka meskipun yang membaca teks proklamasi bukan beliau. Dan tentu saja bukan berarti negeri ini berhutang, karena yang berjuang pada saat itu bukan hanya beliau. Overall, saya sebenarnya melek politik, saya menyukai hal-hal berbau politik, hanya saja saya selalu menolak membahas politik dengan dia. Saya sudah pasti akan memilih diam mendengarnya berapi-api membahas tentang hutang negeri ini pada tokoh idolanya. Saya tidak menyalahkan kecintaannya dan kesetiaannya pada tokoh idolanya, saya hanya tidak menyukai sebuah sudut pandang fanatik (meski bukan hanya di bidang politik).

Sejujurnya saya sering merindukan dia. Sering sekali. Seperti saat ini misalnya Tapi bukan karena perasaan sayang saya berubah. Perasaan sayang saya pada dia masih sama, sayang sebagai sahabat. Seperti sekian tahun yang lalu ketika saya dan Fitrya mengomel dan marah ketika minta dia untuk masuk sekolah.



Ar, aku tahu kau tidak sedang menungguku.
Begitu lebih baik. Membuatku lebih lega.
Kita berjalan seperti dulu, seperti biasa.
Biarkan aku dengan kerapuhanku, tanpa kau pernah tahu.
Karena aku tahu kau selalu baik-baik saja.
 
gambar dari link ini
 Life is not always fair.  Sometimes you get a splinter even sliding down a rainbow.  
~Terri Guillemets~

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date