Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

Kepada (Aku, Kamu, Dia, Kita, Mereka)


Ina: Siapa saja yang bisa akses blog kamu?
Aku: Orang sedunia.
Ina: Kamu nulis apa saja?
Aku: Apapun. Kenapa tiba-tiba concern sama blogku.
Ina: Ada yang suka ngintip.
Aku: hahahaha

Sudah hampir siang, saya baru saja menyelesaikan bersih-bersih rumah, memasak, dan mandi, ketika tetangga sebelah rumah mengucap salam dengan tergesa. Begitu saya membuka pintu, dia mencari ibu dan langsung mengabarkan bahwa seorang tetangga kami meninggal dan baru diketahui keluarganya sekitar lima belas menit yang lalu. Saya dan ibu shock.

Sudah seminggu ini ibu berencana memberikan kasur di rumah kepada tetangga karena saya sudah mulai uring-uringan gara-gara kasurnya menyesaki kamar saya yang isinya sudah hampir penuh. Ibu rencananya mau memeberikan kepada keluarga Sasa. Saya tidak tahu nama aslinya siapa. Sasa ini teman seangkatan kakak saya ketika masih SD, dan yang saya tahu karena keluarganya adalah pembuat krupuk puli* (Krupuk beras khas daerah Magetan, yang dibuat dengan mencampurnya garam bleng.) Kabar duka yang dibawa tetangga samping rumah tadi adalah tentang meninggalkan ibu si Sasa. Tidak tahu pasti kapan meninggalnya, tapi si mayat si ibu sudah dingin dan kaku yang berarti sudah meninggal lebih dari 3 jam.

Saya hampir tidak tahu apa hubungan cerita tentang meninggalnya tetangga saya dengan telepon teman saya barusan. Ina kurang suka menulis tapi suka mengintip tulisan saya di blog, di folder corat-coret di PC, laptop, dan handphone, bahkan sering minta dibuatkan tulisan (entah cerpen, puisi, atau sekedar ocehan). Menurut Ina (BTW, thanks a lot, In), tulisan terakhir saya kemarin menyulut kemarahan seseorang. Saya jadi bingung antara ingin ngakak dan ingin bilang kalau apa yang sedang dia baca itu bukan tentang dia.

Ini bukan disclaimer, tapi saya lebih suka menyebutnya pembenaran dari tulisan yang saya buat sendiri. Saya menulis apapun yang ingin saya tulis. Kalau saya ingin menulis tentang seseorang pasti saya tidak ragu menuliskan namanya. Kali ini Ina membaca dua kalimat saya dari tulisan terdahulu yang sepertinya membuat seseorang marah. “Lalu ketika membayangkan seorang gadis dengan seringai sombong memamerkan tulang pipinya, saya lalu merasa gelegak darah saya mencapai puncak kepala. Saya tidak membencinya, saya hanya tidak suka dengan kesombongan yang dia gulirkan atas nama cinta.” Selesai membacanya Ina malah ngakak tidak karuan, dan kontan membingungkan saya. Ternyata saya baru sadar bahwa Ina sudah terlalu sering membaca tulisan saya tentang “gadis dengan seringai sombong, yang menampakkan kesombongan atas nama cinta” (Sekali lagi, terima kasih banget, In). Saya ikut ngakak juga akhirnya. Gadis yang dimaksud ini sama sekali tidak mengarah pada seseorang di mana pun atau siapapun. Gadis ini tak lain adalah CUPID.

Saya dan Herlina (bukan Ina) sering memaki-maki Cupid karena menganggap si Cupid ini tidak tepat memanah di hati saya ataupun Herlina. Jadi saya dan Herlina selalu membayangkan Cupid memasang seringai sombong ketika dia berhasil memanah tepat di jantung orang lain tapi bukan di jantung saya ataupun Herlina. Ini bukan pengalihan, kalau tidak percaya silakan tanya pada sahabat saya yang bernama Herlina. Dia masih hidup, sehat wal’afiat, cantik, dan sekarang sedang menempuh program magister-nya di Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Tapi saya tidak mau memasuki pikiran orang dengan pendapat saya. Silakan Anda tafsirkan sendiri apa yang telah Anda baca dari tulisan saya.

Saya sebenarnya menulis dua cerita dalam satu posting ini karena saya sedang dalam keadaan takut mati. Oke, agak lebay, tapi biar seperti itu saja. Saya sedang membayangkan jika suatu hari saya tiba-tiba mati, tapi saya meninggalkan begitu banyak tanda tanya di benak banyak orang. Apakah saya bisa tenang di alam saya di sana? Sakit yang sedang bersuka cita di tubuh saya, dan semua yang pernah terjadi pada hidup saya, bisa serta merta membuat saya menghembuskan napas terakhir. Saya bukan takut mati, karena semua orang terlahir untuk mati. Saya hanya ingin jika suatu hari saya mati, saya tidak meninggalkan tanda tanya pada siapa pun tentang apa yang saya tulis, saya ucap, saya rasa, saya perbuat.

Percakapan saya dengan Ina, saya akhiri dengan kalimat, “Aku tidak sejahat itu sampai mengatakan bahwa dia punya seringai sombong, In.”



Thanks to Inawerita Aulya Ramadhani Santoso, untuk telepon gokilnya di sela rasa lapar dan finishing touch my thesis. Love you, (kiiiiiissss and smoooooocch)
Special thanks to yang sudah selalu mampir di blog ini walau sekedar ngintip. Sekali-kali nulis komentar boleh kok, daripada disalurkan lewat media lain yang saya tidak bisa baca langsung. That’s more than apreciation for my writing, dan pastinya bisa menambah statistik di blog saya. ^_^

pict source
You are responsible for your life.
You can't keep blaming somebody else for your dysfunction.
Life is really about moving on.
Oprah Winfrey


0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date