Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

Why do You Love Him?


Dia sedang bergelung di belakang saya yang berpura-pura sibuk di hadapan layar laptop. Saya membiarkannya bergelung di sana masih dengan kerudung membalut rapi kepalanya. Sewaktu datang tadi dia bilang kangen dengan ibu, tapi saya tahu benar bahwa dia pasti sengaja datang sebelum ibu pulang. Tentu saja dia tahu bahwa jam 10 pagi adalah sebuah kemustahilan bisa menemui ibu di rumah pada hari kerja. Tujuan dia datang ke rumah tidak lain tidak bukan tentu saja ingin menemui saya, dan tentu saja curhat tentang masalah yang sedang menimpanya. Saya sudah mendengar berita dari beberapa teman tentang kesedihan yang menimpanya.

Saya tidak menanyakan apa-apa padanya kecuali kabarnya dan mama-papanya, selebihnya saya simpan sendiri. Saya tidak mau memulai bertanya, karena saya tahu bagaimana perasaannya saat ini. Sedih, kecewa, terluka, terlunta, marah, sakit, dan perih. Perasaan yang sama yang saya rasakan bahkan sampai saat ini.

....
Bukan maksudku, bukan inginku melukaimu
Sadarkah kau
Di sini ku pun terluka
Melupakanmu, menepikanmu
Maafkan aku...
....

Dia tiba-tiba terisak-isak ketika mendengar lagu itu mengalun pelan dari WMP saya.

Saya berbaring di dekatnya, satu tangan menggenggam erat tangannya, tangan lainnya mengusap air mata yang mulai membanjir di pipinya.

“Dia tidak pernah bermaksud melukai aku, tapi aku terluka,” rintihnya di sela isak.
Saya tidak bisa berkata apa-apa karena saya pun berada persis sama di posisinya. Tapi paling tidak lukanya masih berdarah-darah saat ini. Dia sedang sangat rapuh untuk bisa menguasai diri.

Melihatnya terluka begini seperti melihat diri saya sendiri setahun kemarin. Sebuah cermin besar berdiri tepat di hadapan saya dengan wujud sahabat saya yang terluka oleh sebuah pencampakan. Saya tidak tahu apakah istilah ‘pencampakan’ ini tepat saya gunakan, karena saya tahu pasti bahwa seseorang di sana pun sedang sangat terluka ketika melakukan ‘pencampakan’ itu. Sama persis dengan apa yang saya alami.

Tapi saya tidak rela melihat dia dalam keadaan yang sedemikian menyedihkannya. Dia bukan hanya cantik dan baik, tapi dia seorang yang lembut dan sangat setia. Saya sering mendapat oleh-oleh ketika dia pulang tugas dari kantornya untuk tugas luar kota. Beberapa kali dia sengaja membelikan saya bros, gelang, atau cincin lucu dengan alasan oleh-oleh dari perjalanan dinasnya, padahal saya tahu dia tidak ada agenda belanja dalam perjalanan dinasnya itu. Satu kali pernah dia memberi saya kerudung branded yang baru saja dibelinya dengan dalih dia kekecilan, padahal saya yakin sekali kalau kerudung itu sebenarnya bisa dia tukarkan dengan ukuran yang lebih pas untuk dia.

Menjadi sahabatnya belasan tahun membuat dia sangat mengenal saya bahkan lebih baik dari diri saya sendiri. Dari sekian lama perjalanan persahabatan kami, saya baru dua kali melihat dia terluka sedalam ini, selebihnya dia dalah gadis yang ceria, kuat, tabah, dan ramah. Kesedihan mendalamnya terjadi sekitar sepuluh tahun lalu  ketika kedua orangnya memutuskan bercerai. Saya pun merasakan betapa hancurnya dia kehilangan kehangatan keluarga yang telah menaunginya bertahun-tahun. Tapi saya salut pada dia yang begitu kuat menghadapi (hal yang menurut saya) bencana itu. Dalam luka yang sangat dalam dia menjadi penguat bagi kakaknya dan dua adiknya.

Hari ini dalam pelukan saya, dia kembali menangis dalam luka, tapi saya tidak mampu meneteskan air mata barang setitik pun, bukan karena saya tidak terharu, buka berarti saya tidak terluka. Saya terlalu terluka untuk bisa menangis di hadapannya. Segala rasa yang dia tumpahkan bersama lelehan seluruh air matanya mewakili apa yang tidak dapat saya luapkan lewat tangis.

“Aku tahu dia masih sayang aku seperti aku sayang dia, tapi dia memilih pergi. Aku juga tahu luka yang dia rasakan di sana saat dia memilih untuk pergi dariku dan memilih dia. Aku tahu seharusnya kubenci saja dia, tapi rasa sayangku menutup semua jalan benci.”

picture from here
If you press me to say why I loved him,
I can say no more than because
he was he, and I was I. 
~Michel de Montaigne~

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date