Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

Tanpa Alasan


Aku ga pengen buat kamu sakit..buat kamu nangis..

Though I cant see it..I can feel it.

I just dont wanna see u bleeding over and over

I just dont know how to stop u bleeding


"Ini apa?" tanyanya galak.

Dia berkacak pinggang satu tangan dan tangan lainnya menunjukkan 4 sms (berturut-turut) yang masih saya simpan itu. Saya hanya nyengir saja. Padahal hati saya miris membaca sms-sms itu.

Iya. Saya memang masih menyimpannya rapat. Saya pun masih sering membacanya.

Dia melihat sms itu karena beberapa menit sebelumnya saya memang sedang membacan sms-sms itu. Lalu dia meminjam handphone saya untuk sms mamanya, setelah menunjukkan pada saya bahwa pulsa sms dan pulsa regulernya tertera Rp 0. Saat tombol message ditekan, sms itu yang pertama kali muncul.

Saya merasa seperti pesakitan yang siap dieksekusi, dipenggal kepalanya. Dan di hadapan saya dia terlihat seperti algojo yang telah menyiapkan guillotine untuk memisahkan kepala dari tubuh saya.

Pandangannya (yang penuh tanda tanya) benar-benar bikin saya nyesek dan hampir menangis.

[Bagaimana kujelaskan padamu tentang semua ini? Tentang sms yang baru saja kamu tunjukkan di depan mataku, dan beberapa sms yang lain. Apa aku harus jujur padamu setelah sekian lama aku berbohong di balik topeng yang sangat indah? Aku takut mengaku padamu! Tapi aku juga tak mampu bertahan.]

Jantung saya berdebar tak karuan.

Mata tajamnya serasa menghunjamkan anak panah tepat di pusat rasa saya. Tapi, saya kehilangan daya dan tenaga untuk sekedar menjelaskan padanya barang satu kalimat. Saya menunduk, menghindar matanya yang terus menatap ke arah saya dan menuntut untuk diberi penjelasan.

"2 Desember 2010..." desahnya pelan. "Untuk apa masih disimpan, kalau sebulan kemudian kamu dicampakkan?"

Kata-katanya membuat perih dan nyeri di hati. Saya semakin menunduk. Mata dan pipi saya memanas. Air mata serasa berebutan ingin keluar dari mata saya, tapi saya bertahan untuk tidak menangis. Saya berusaha sekuat yang saya mampu.

Dia juga masih sesekali mengutak-atik handphone saya untuk membaca sms-sms yang lain, karena dia tahu autolock di handphone saya bekerja jika dalam waktu 1 menit tidak ada aktifitas. Itu perlindungan ekstra yang saya pasang agar orang tidak mudah melihat isi handphone saya.

Beberapa kali saya melirik dia yang kaget membaca sms-sms di handphone saya. Sampai akhirnya dia puas dan setengah membanting handphone saya di meja. Lalu menatap saya dengan tajam lagi.

[Kumohon..kumohon..Please, berhentilah menatapku seperti itu. Kamu tak akan mengerti mengapa aku seperti ini. Aku tidak akan sanggup menjelaskan padamu, kamu pun tidak akan sanggup mendengarnya. Aku sedang tak ingin bertengkar denganmu.]

Kekuatan yang coba saya pertahankan akhirnya jebol juga oleh air mata. Saya menangis. Tanpa kata, tanpa suara. Hanya air mata yang bertubi-tubi jatuh dari mata saya. Tidak ada kata yang mampu saya ucapkan.

Dia mendekati saya. Kedua tangannya meraup saya dalam pelukan yang hangat. Dibiarkannya saya menangis di pundaknya. Pundaknya memang selalu bisa saya andalkan ketika menangis, bahkan ketika dia sedang marah seperti ini.

"Jangan cengeng!" dia mengelus-elus kepala saya saat tangis saya sudah mulai mereda.

"Maaf yaa," desis saya di antara isak yang masih tersisa.

"Untuk apa?"

"Untuk ketidakjujuranku selama ini."

"Itu bukan karena kamu tidak jujur, tapi karena kamu oneng. Kamu akhirnya terluka sendiri kan?! Kata-kata dalam sms itu hanya terjadi saat sms itu dikirim, selebihnya derita buatmu, karena kamu disakiti, dibuat menangis. Bahkan saat kamu telah dibuang, semua orang masih selalu menganggapmu destroyer ..bla..bla..bla.."

Nasihat berikutnya membuat saya makin tergugu. Hati saya hancur, saya terluka parah, tapi tidak pernah pandai merangkai alasan untuk bisa saya jelaskan. Selalu alasan feminisme yang saya buat menjadi alasan: 'karena aku wanita'. Alasan yang saya tahu tidak pas, karena tidak menjelaskan apa pun.

Tangis di hadapannya pun tidak dapat saya definisikan maksudnya. Yang saya tahu, mata dan pipi saya memanas lalu air mata mengalir dengan sendirinya. Tidak ada alasan pasti. Bukan tentang penyesalan, bukan tentang malu, bukan tentang marah. Bukan!


Mungkin ini rindu.

gambar dari sini
 Tears are the silent language of grief.  
~Voltaire~

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date