Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

Poem's Wounds



Aku masih mencintaimu, tapi tak ada jalan untuk kembali. Aku tahu.
Tak ada harapan, tak ada impian.
Yang ada hanya masa lalu, kelabu.
Lalu sepi, senyap, dan gelap.


Seperti kemarin-kemarin, aku menatapnya di hadapanku. Kukatakan pada sosok yang ada di hadapanku:

{Kamu bodoh sekali! Sekarang, apa yang kau punya? Tubuhmu, sudah penuh luka. Otakmu, sudah tak berfungsi. Hatimu, sudah redam tak bersisa.}

Penggalan-penggalan syair yang kutitipkan pada pucuk cemara akhirnya menguar. Kering terkena panas kemarau dan akhirnya jatuh terbawa luruh hujan.

Ada saja alasan yang membuatku untuk tidak menyangkal bahwa semua ini hanya sementara. Mati. Itu jawabnya. Lalu tak pernah suara angin mampu mengusikku yang terdampar di ujung malam.


~~~
Sekian langkah menjauh. Ingin kusiram air ke atas kepala dan dadanya. Agar segala keterasingan menampakkan kegarangan pada sedihnya.

Sedihnya?

Dia selalu tersenyum bahagia dan melewati hari yang indah, kurasa.

Berantakan?

Tak ada yang percaya bahwa dia sedang menikmati ke-berantakan yang dia tuang di depan pintuku.

Aku tidak menangis. Aku diam, menjauh dan melemparnya dengan suka-cita yang dia mimpi selama hidupnya.
~~~


Baiklah... tak seharusnya aku kembali pada tempat yang tak kita sepakati. Sudah berlari tapi masih pula harus kembali menyusuri jalan setapak yang terjal.

Aku memandang lagi sosok di hadapanku.

{Mengapa tak juga berhenti? Apa ini yang tidak tertulis pada takdirmu? Kau tak punya apa pun, saat ini. Tubuhmu, tak layak sebagai manusia. Otakmu, terbodohi. Hatimu, tak ada harga sama sekali.}

Aku menyepi bukan untuk siapa pun. Aku hanya ingin menyimpannya untukku saja. Dan aku haus membelai dunia dengan sejumput sayang yang terbaring mati. Mati semati-matinya!


~~~
Dan entah mengapa aku masih percaya pada semua permohonannya di pagi itu. Masih berharap permohonannya itu kembali terlontar untukku.

Untukku?

Sebuah kesia-siaan, kupikir, bahkan untuk doa yang terukir di dadanya. Doa yang tiap kali kugaris ternyata tak sampai pada hatinya. Tuhan menyimpannya sebagai pembayaran atas hutang dosa besar yang kuperbuat bersamanya.

Bersamanya?

Iya. Pun akhirnya kubayar mahal dengan ke-ter-abaian yang entah sejak kapan. Meski aku masih ingin menghangat di kota itu, di antara kecup bertubi dari langit pucat dan aliran darah yang bergolak.

[For me it isn’t over.
Kamu lebih memilih membuangku jauh dan menghitamkan aku di antara pelangimu.]
~~~

Sosok di hadapanku adalah aku sendiri.

pinjam gambar di sini


The important thing is this:
To be able at any moment to sacrifice
what we are for what we could become.
~ Charles DuBois~

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date