Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

The Stories of Heart

(KISAH SATU)

Seseorang memakai jas hujan tampak sedang menunggu seseorang di ruang tunggu terminal. Berkali-kali dia melongok ke jalan raya dan berharap sebuah kotak besar akan menurunkan seseorang. Berkali-kali pun dia melihat layar ponselnya.

Itu dia. Sorakan dalam hati yang diikuti oleh lambaian. Maka inilah yang terjadi, sebuah pertemuan yang canggung. Hanya ada senyum kaku dan sapaan basa-basi ala dua orang yang lama tak berjumpa. Ditingkahi gerimis tipis, mereka lebih sering kehilangan arah pembicaraan.



(KISAH DUA)

Aku tidak ingin bicara apapun pada siapapun. Aku merindukan sahabat-sahabatku. Mereka, yang mungkin, bukan pemberi semangat yang hebat. Tapi mereka selalu bisa kuandalkan untuk mendengarkan ceritaku tanpa menyela. Tapi aku kembali tersuruk di sini. Diam di antara tumpukan kertas dan berbaris-baris huruf.

Tak ada keinginan untuk lari atau pergi. Mencoba menikmati dingin dan sepi. Berjalan seperti hari kemarin. Membiarkan semua rasa dan lelah itu hilang bersama berlarinya waktu.

Aku sakit memang, tapi kumohon biarlah. Kumohon, jangan memintaku berbuat sesuatu yang lebih menyakitkan. Kumohon, berhentilah berbicara seolah-olah aku adalah beban terbesar.

Jika saja aku tidak menyayangi semuanya, aku akan memilih untuk menjauh dan melakukan semua yang kuingin. Karena aku menjadi 'anak baik' maka biarkan aku berjalan seperti adanya. Terlalu sakit untuk mendengar tiap kata dan kalimat sindiran seperti itu.

Sakit sekali! Percayalah!

Aku bukannya tidak melakukan apapun. Sungguh, aku telah bersungguh-sungguh. Kini ijinkan aku tenang. Menikmati lelah dan sakit ini sendiri. Sekali lagi kumohon, berhentilah berujar seolah aku hanya seorang yang tanpa daya dan upaya.

Aku lelah. Teramat lelah. Aku lelah menunggu, aku lelah mencari, aku lelah memohon, aku (bahkan) merasa lelah untuk lelah.

Kumohon, hentikan semuanya. Kumohon.



(KISAH TIGA)

Dia berdiri di sana. Di bawah hujan deras yang mengantarkan gigil. Tanpa kata, tanpa suara. Tapi dia terluka, dia menangis dalam diamnya.

Dia menatapku cepat. Mata yang terbiasa berbingkai kaca itu mungkin tak sanggup mengenaliku di bawah hujan yang terlalu deras. Maka aku mencoba menghampirinya.

Kuangsurkan payung, yang masih terlipat, padanya. Aku sendiri memegang payung lain. Matanya menatapku takjub. Dan di mata itu kubaca ribuan cerita, cinta, tawa, bahkan duka dan luka.

Aku menyentakkan payung itu agak keras. Bisa kulihat geragapnya. Dan dia hanya tersenyum canggung. Maka detik berikutnya, senyumnya berhasil menghilangkan raguku. Ragu bahwa dia sedang menangis. Karena sembab itu makin tampak ketika wajahnya diusahakan untuk tersenyu.

Sebuah gerakan anggun bisa kuartikan bahwa dia menolak payung yang kuberikan. Dia kembali tersenyum canggung, meski sekarang terasa lebih canggung.

Gadis bodoh, gumamku dalam hati. Bodoh karena tidak menerima bantuanku. Bodoh karena senyumnya makin membuatku tahu lukanya. Bodoh karena dia sebenarnya tahu bahwa hujan adalah bencana besar bagi hidupnya.




I've learned that
Some stories have no
Clear beginning, middle, and end
There's no story created to be so that perfect
-Asmara Nengke (me myself)-






posted from Bloggeroid

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date