Sweetest Nightmare

Berani Bermimpi adalah Berani Mengambil Risiko dan Kesempatan

Sepenggal Cerita di Perjalanan Pulang

Suatu hari, dalam perjalananku dari sebuah kota yang mulai akrab denganku.

Aku sadar bahwa perjalanan pulangku kali ini akan sangat panjang, karena libur beberapa hari yang bertautan. Dalam bis yang membawaku pulang, aku duduk di bangku (yang mereka bilang) ekstra. Tidak senyaman bangku yang sebenarnya, karena aku harus meghadap belakang, tapi tak masalah buatku yang sudah sangat akrab dengan angkutan umum bernama bis.

Di sampingku duduk dua orang ibu yang mengobrol dengan santai. Dari pakaian, dandanan dan barang bawaan, terlihat jelas di mataku bahwa mereka orang yang sangat mampu. Ibu yang lebih dekat denganku mulai mengobrol denganku dan menceritakan tentang perjalanannya dari mengunjungi anaknya yang kuliah di fakultas kedokteran sebuah universitas negeri. Aku yang pernah bermimpi bisa masuk fakultas “kaya” itu hanya tersenyum saja.

Kemudian mulai si ibu bercerita bahwa suaminya baru saja meninggal. Dan mulailah si ibu bercerita sambil berlinang air mata. Aku yang tadi sempat iri pada apa yang dimiliki si ibu, tiba-tiba berubah jadi haru. Ibu itu bercerita bagaimana sedihnya ketika suaminya meninggal bukan karena sakit, dan dia pun bercerita tentang air matanya yang belum kering hingga saat ini.

Saat ibu itu terdiam lama, menatap kosong, aku menemukan fenomena lain. Dari sebuah pasar bis yang kunaiki menaikkan penumpang dua orang anak kecil. Sang kakak kutaksir usianya sekitar kelas akhir di SD dan adiknya masih berusia sekitar 3 tahun. Kembali haru menyeruak ke permukaan. Dua anak kecil itu berdiri sambil berpegangan erat di bis yang melaju meliuk-liuk di jalan pegunungan. Dua anak kecil yang mungkin usai belanja atau mungkin usai membantu orang tua mereka di pasar. Barang bawaan mereka pun membuatku terharu. Si adik membawa sebuah tas kecil lusuh yang menurutku isinya dompet atau uang, dan kakaknya membawa serempat karung biji jagung kering. Tak terbayang olehku betapa berat karung itu dibawa oleh bocah sekecil itu. Bukankah hari libur seperti saat itu, mereka seharisnya bermain dengan temannya. *sigh*

“Terima kasih, mbak,” ibu yang tadi bercerita padaku menyentuh lenganku sambil mengangkat tissue yang tadi kuberikan padanya. Aku terkejut luar biasa (karena masih melamunkan dua bocah yang sekarang berdiri di hadapanku) tapi masih tersenyum pada ibu itu.

Dan aku menyadari bahwa ketika aku seusia dua bocah itu, tak pernah aku berada pada posisi mereka. Aku tak bisa bayangkan bagaimana rasaya menjadi mereka. Dan aku pun belum pernah berada di posisi ibu di sampingku, belum pernah merasakan bagaimana rasanya ditinggal orang yang sangat dicintai.
Setelah dua bocah itu turun, sebuah lirik lagu terputar otomatis di kepalaku:

Tak mampu melepasnya walau sudah tak ada
Batinmu tetap merasa masih memilikinya
Rasa kehilangan hanya akan ada…
Jika kau pernah merasa memilikinya

Pernahkah kau mengira kalau dia kan sirna
Walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa
Rasa kehilangan hanya akan ada…
Jika kau pernah merasa memilikinya


P.S. Jangan menunggu suatu hal (cinta, kebahagiaan, harta, keluarga, teman saudara, bahkan hidup) hilang, hingga menyadari bahwa kita tak sempat melakukan apapun.

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Mereka yang Mampir

Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Guess House

free counters

Popular

Clock

Meeting Room

About Me

Foto Saya
Asmara Nengke
Solo, Indonesia
Not too simple, just unique, extraordinary and limited-edition. Others' big words mean nothing to me.
Lihat profil lengkapku

Kanca-Kanca

Talk to Me

Up to Date