Saya sempat berpikir ingin memberi judul posting ini
dengan “Tepok Jidat”. Ya ampun, judul yang nggak menarik sama sekali. Judul
yang tidak ‘menjual’, hingga mengakibatkan tidak akan dibeli. Hehehe... tapi
saya tidak ingin memberi judul itu, karena saya telah menemukan judul yang
benar-benar sempurna.
Kejadian-kejadian yang terjadi selama beberapa hari terakhir ini.
Saya berencana bahwa selama bulan Ramadhan ini akan shalat tarawih di hampir
semua masjid/mushola yang ada di desa saya. Sejauh ini, keinginan saya
terlaksana dengan baik dan menyenangkan. Di beberapa tempat tersebut, saya
(yang selalu pergi bersama ibu) mendapati kejadian yang membuat kami terharu,
tertawa, dan lainnya.
Fakta pertama adalah jarang ada orang yang mengenal
saya secara pribadi kalau saya tidak sedang bersama ibu. Tetangga yang rumahnya
dekat dan keluarga-keluarga besar sih pastinya sudah kenal, tapi kan kami
shalat di masjid/mushola yang jarang kami kunjungi. Ketika saya sendirian,
warga tidak akan mengenal saya sebagai diri saya, tapi ketika bersama ibu,
warga akan tahu bahwa saya adalah anak bapak dan ibu. Hehehe...saya ternyata
tidak terlalu terkenal seperti ketika masih kecil dulu.
Fakta kedua adalah tiap mushola/masjid benar-benar
berbeda cara penyelenggaraan Shalat Tarawih. Saya menyukai fakta ini, meskipun
saya lebih sepakat dengan ke-seragam-an dalam ibadah. IMHO saja lah.
Fakta ketiga adalah nama saya di desa saya sendiri
bermacam-macam. Sebagian besar orng yang mengenal saya, memanggil saya dengan
nama Yaya. Sebagian lainnya memanggil Mara. Ramadhan kali ini saya baru tahu
kalau tetangga ada yang memanggil saya dengan panggilan lain.
Jadi ceritanya kita shalat di sebuah masjid baru.
Ibu yang sudah kenal dengan dengan beberapa jamaah langsung bersalaman dan
bertukar kabar. Ketika ibu ditanya datang dengan siapa, ibu langsung bilang
dengan anaknya yang perempuan. Saya kaget sekali ketika jamaah tersebut
(ehmm...saya memanggilnya ‘mbah’ sebenarnya), dengan sangat ramah mbah tersebut
langsung berkata (Percakapan dilakukan dengan bahasa Jawa, namun dalam posting
ini sudah saya alihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia) “Oalah...datang dengan
Mbak Lala.”
Seumur umur, baru kali ini saya dipanggil ‘Lala’. Sebenarnya
ada juga yang memanggil saya Naya, Nara, atau Rara, tapi nama-nama itu sudah
saya dengar beberapa kali. hehehe
Fakta keempat saya dianggap sebagai cucunya ibu. Ini
membuat saya dan ibu terpingkal-pingkal ketika membahasnya keesokan hari.
Kami datang ke sebuah mushola, lalu seperti biasa,
ibu berinteraksi dengan beberapa jamaah yang sudah dikenal. Salah seorang
jamaah langsung menanyai ibu, “Datang dengan cucunya, Bu?” (Percakapan
dilakukan dengan bahasa Jawa, namun dalam posting ini sudah saya alihbahasakan
ke dalam bahasa Indonesia)
Keesokan harinya ketika kami membahas, saya langsung
bilang kepada ibu, “Berarti aku masih imut banget ya?”
Lantas ibu menjawab, “Aku mikir dua hal, berarti
kamu dianggap masih imut dan ibu dianggap sudah tua banget."
Masih banyak sekali hal yang kami temukan selama
melakukan safari Tarawih. Menyenangkan, seru, kadang membuat haru, dan berbagai
macam cerita yang tidak kami temukan di Ramadhan tahun-tahun sebelumnya. Saya
sampai lupa cerita apa saja yang pernah menjadi bahan pembicaraan kami di rumah
sepulang dari Tarawih di sebuah mushola atau masjid. Saya terlalu menikmati
Ramadhan kali ini, karena ini adalah Ramadhan yang akan saya nikmati di rumah full selama satu bulan.
Picture here |
0 comments:
Posting Komentar