Saya tertawa getir. Malah bisa dibilang miris. Saya menertawakan mereka
yang (mungkin) tidak percaya bahwa warna hati saya sudah berubah dan rasa saya
tidak lagi sama.
Kalian pikir saya berbohong?
Saya, pada akhirnya, merasa lebih bodoh daripada keledai, karena saya sudah
percaya pada orang yang dengan sengaja menyakiti saya berkali-kali dengan dalih "Saya
tidak ingin menyakiti siapapun." Iya, memang tidak menyakiti siapapun, tapi tidak pernah mau tahu kalau saya bahkan lebih sakit dari yang dia bilang 'siapa pun' itu. Saya masih ingat dulu di hadapan saya
sebuah nama disebut, Nanda (bukan nama disamarkan eh maksudnya nama disamarkan)
hehehe. Itu nama yang tiba-tiba terlintas di kepala saya ketika
menulis posting ini. Nama itu bisa menyamarkan gender, jadi saya nyaman saja
menggunakannya. Itu yang pertama saya ketahui. Lalu berlanjut pada hal-hal lain. Dan saya? Just like an idiot, do nothing but believe all the times.
"Sebenarnya kamu menyimpan rasa yang masih sama," begitu kata
mereka. Itu menurut mereka! Mereka tidak pernah ada di posisi saya yang setiap
waktu selalu dijadikan pelarian. Hanya sebagai 'pelengkap' ketika merasa perlu
tempat bersandar. Ketika sudah cukup kuat untuk berdiri lagi, maka
pengkhianatan dan pengabaian-pengabaian mulai dilakukan. Cukup bodoh memang,
ketika menyadari bahwa kita ada dalam hidup orang lain yang sedikit pun tidak
mau 'memandang' arti hadir kita.
Akhirnya, takdir memperlihatkan apa yang seharusnya terlihat. Itulah
yang saya rasakan selama ini. Sekian waktu yang panjang ini. Menghargai
seseorang di atas menghargai diri kita, tapi malah kita direndahkan
serendah-rendahnya. Hal ini sering terjadi di manapun kehidupan
berlangsung. Bukan hanya tentang saya dan mereka. Masih banyak kejadian di luar
sana yang berhubungan dengan menghargai orang yang di junjung tinggi, tapi ,malah
pengabaian yang diperoleh. Seperti yang beberapa kali kita lihat di TV bahwa
banyak atlet yang dulu berjuang untuk negara ini, tapi akhirnya mereka tidak
mendapat perlakuan selayaknya. Ah, ini tidak sampai pada tingkat nasional, ini
hanya hubungan transaksional dan interpersonal. Hahahaha.... sudah seperti
jenis teks di sekolah saja.
Mengingatkan pada sebuah lirik lagu.
....di atas hatiku
kutinggikanmu, di atas hatimu kau rendahkanku…
Itulah rasa yang selama ini saya rasakan. Hingga pada
akhirnya rasa itu membatu dan mengubah semuanya. Menjadikan simpati berubah
menjadi rasa yang tak terdefinisi datarnya.
[Jika kau bilang
rasamu sudah datar, maka dengarkan ini. Rasaku
jauh lebih datar dari apa yang kau kira dan rasa itu sudah sangat datar jauh
sebelum kamu merasakan datarnya. Bukankah sudah pernah kukatakan padamu
beberapa waktu yang lampau bahwa rasanya tidak akan sama lagi, karena rasaku
padamu telah beda. Tapi tidak pernah
sekali pun aku membencimu, karena dengan membencimu akan membuatku tidak ada
bedanya dengan kamu. Point my words!]
Beberapa dari mereka mungkin tidak pernah percaya bahwa saya memang
tidak lagi di tempat yang sama. Itu hak mereka untuk menilai saya. Tapi
setidaknya mereka merasakan, mereka tahu bahwa rasa itulah yang berkali-kali
saya rasakan. Dan sekarang saya berdiri di sini, lalu tertawa miris, karena
saya sudah pernah ada di posisi mereka ratusan kali
sebelum sekarang. Kekesalan semacam itulah, pengabaian semacam itulah yang akhirnya
membuat hati mati hingga mampu menertawakan hidup yang sebenarnya tidak lucu.
Menyakitkan, malah.
Kalau mereka tidak percaya...
[Kalau kalian
merasakan pengabaian itu berkali-kali, apakah kalian masih bisa merasa maklum?
Mungkinkah rasa kesal yang menggunung tidak akan mengubah simpati? Akankah,
sebagai manusia biasa, kalian akan sesabar Rasulullah ketika menghadapi
pengabaian? Rasa itulah yang kurasa berkali-kali dan itu menyebabkan rasa
menjadi datar, tapi bukan benci.]
Saya tidak membenci. Bukan berusaha tidak benci. Tidak! Tapi saya
memang sama sekali tidak benci kok. Saya tidak peduli kalau saya dibenci. Saya
berjalan sesuai rel saya, dan benci seseorang terhadap saya adalah kans di luar
rel saya yang tidak perlu masuk dalam agenda 'untuk dipikirkan' bagi saya.
Bencikah saya pada mereka? Tidak. Benci saya akan membuat saya tidak beda dengan mereka.
Mereka membenci saya? Lakukanlah.
Tidak percaya saya? Bukan urusan saya.
Mereka merasa kesal? Saya juga sudah pernah.
A
person often meets his destiny on the road he took to avoid it.
-Jean de La Fontain-
Picture here |
0 comments:
Posting Komentar