Selalu begitu. Saya dan Titis.
Saya pernah menulis tentang Titis
beberapa bulan yang lalu. Ketika itu dia menangis dalam sms-sms yang dia kirim
pada saya. Kami masih melanjutkan persahabatan jarak jauh ini meski tak setiap
hari sms atau telepon.
Selalu begitu. Kami bercerita tentang
tangis dan luka dalam sms-sms. Kami membangkitkan semangat dalam sms-sms. Tapi
ketika suara kami bertemu, maka semua cerita sedih berubah menjadi cerita yang
penuh tawa. Mungkin karena sakit yang sudah terlalu dalam, hingga kami mampu
menertawakan kisah yang sesungguhnya membuat pedih. Tapi kami jarang sekali
berbagi bahagia.
Selalu begitu. Tidak ada nama yang
kami sebut untuk orang yang membuat marah, sedih, menangis, kecewa. Kami selalu
mengatakan 'dia'. Ketika kami menghadirkan 'tokoh' baru dalam cerita kami, maka
kami bisa menyebut namanya dengan lancar. Kami selalu nyaman dengan hanya
mengetahui kisah lengkap kami masing-masing, tanpa harus tahu namanya siapa.
Selalu begitu. Ada banyak hal yang
tidak kami ungkap namun bisa kami baca dari cara sms atau telepon. Tidak ada
sindiran antar kami berdua. Tidak ada rahasia yang mungkin bisa bocor. Semua
yang kami ceritakan akan kami simpan masing-masing tanpa perlu ada warning
'Jangan cerita ke siapa-siapa'. Kami tahu dari hati, bahwa apa yang saling kami
ceritakan adalah sebuah rahasia yang wajib dijaga kepercayaannya. Kami saling
menjaga rahasia. Saya dan Titis merasa wajib menyimpan semua yang sudah kami
bagi. Kami merasa aman ketika kami sama-sama curhat tentang banyak hal.
Selalu begitu. Kami bukan teman baik.
Kami tidak terlalu akrab. Kami bukan sahabat dekat. Kami saling merindukan
pertemuan. Kami saling menyayangi seiring waktu berjalan, itu saja. Dan kami
akan selamanya begitu.
*Ditulis setelah sms dengan Titis
ketika kami sama-sama insomnia sambil menunggu waktu sahur.
I am a part of all that I have met.
-Alfred Tennyson
Picture here |
0 comments:
Posting Komentar