Di sudut sebuah malam. Cerah, tanpa awan. Di bawah pendar
ribuan bintang, sedikit temaram oleh sinar lampu. Hanya ada helaan nafas berat
dan hewan malam yang mulai gelisah menanti fajar.
Diam. Tak ada tatapan, sedikit senyuman, meski rindu
berbuih dalam masing-masing debaran. Hampir tiada kata yang dapat diucap,
karena lelah menjadi jubah tubuh.
“Kau apa kabar?” tanyanya tanpa memandangku.
“Baik,” jawabku kaku.
Aku sangat ingin berkata
bahwa aku tidak pernah baik, bahwa aku menyimpan marah dan kecewa, selebihnya
bahwa aku kesepian.
“Kau akan berapa lama di sini?” tanyanya lagi.
“Sampai sepupuku menjemputku.”
Jika aku mampu, aku
ingin jujur bahwa aku ingin bersamamu. Membuat banyak kenangan baru. Menatap langit
sepuas hatiku, dan membiarkanmu diam di kejauhan memandang tingkah anehku.
“Maksudku, sampai hari apa kau akan menetap di kota ini,”
dia menahan tawa, antara menggoda dan mengejek.
Damn!
“Oh.” Hanya itu yang akhirnya keluar dari mulutku.
“So.....???” dia menegaskan.
“I’ll leave
tomorrow.”
“I’ll buy you chocolate before you leave.”
Harusnya memang malam itu tanpa ada lanjutan. Kembali pada
masing-masing rel yang hanya berisi aku dan berisi dia. Rel yang tidak pernah
bersentuhan kembali sejak saat itu. Karena sesungguhnya semua telah berakhir di
suatu masa yang lama. Dan waktu berputar dengan rotasi yang sesuai dan tepat
pada porosnya.
Pelukan malam akan tetap sama. Dingin, senyap, jujur, dan
pekat. Namun telah menjadi berbeda ketika gelap mengantarkan semua rasa kembali
pada pemiliknya.
picture here! |
Our greatest glory is not in never falling, but in rising every time we fall.
~ Confucius ~
0 comments:
Posting Komentar