Sesiangan
ini ngobrol ngalor-ngidul dengan teman lama yang sudah lama banget nggak ketemu.
Bukan ngobrol yang sebenarnya, hanya smsan saja. Si Echa ini tiba-tiba cerita
ketemu dengan kakak kelas kami sewaktu kuliah. Kakak kelas sekaligus kawan gila
kami yang selalu kami sebut dengan ‘sekjen kita’. Pertemuan Echa dengan ‘sekjen
kami’ yang tidak sengaja pada suatu hari, membuatnya berpikir untuk mengadakan
reuni di suatu tempat yang indah. Saya nggak ngerti dengan maksud ‘tempat yang
indah’ itu. Echa ini memang agak lebay juga kalau menyebut sesuatu.
Lalu
mulailah bercerita tentang masa kuliah dan tempat ‘gaul’ kami jaman baheula.
Lalu
saya mulai ditanya tentang ‘sapu’. Saya agak irritating kalau ngomong tentang kisah itu, karena saya sudah
berniat bulat tentang ‘melepaskan’ dan ‘menjauh’. Rasanya males kalau bicara
tentang itu lagi. Tapi akhirnya, saya jelaskan secara singkat tentang ‘conversation has run dry’ yang buat
saya bukan masalah besar.
Hal
irritating kedua adalah ketika dia
men-judge kalau saya, dia, dan ‘sekjen kami’ adalah galawers. Hadeh... Saya ini nggak
lagi galau lho. Dan setelah dibahas lebih jauh, definisi galau ala kami
berbeda. Buat dia galau itu terjadi ketika harapan tak sesuai dengan kenyataan
meskipun sedang dalam keadaan bahagia. Menurut saya galau itu yaa kalau
seseorang lagi sedih, kecewa, dan nangis-nangis dan kegiatan menyedihkan
lainnya.
Kalau
saya sekarang sih merasa bukan galawer, saya kan nggak lagi termehek-mehek. Walau
saya sedang menunggu seseorang, tapi saya nggak menunggu sambil mewek kok, saya
membela diri di hadapan Echa. Dan si Echa keukeuh kalau itu namanya juga galau.
Heran deh, kenapa sih dia ini menganggap semua hal itu hal galau. Saya senyum-senyum
sendiri saja, karena kami toh juga hanya bergurau.
Tapi
satu pertanyaan tinggal di benak saya, “Apa
benar saya sebenarnya sama galaunya dengan Echa?”
Saya
jadi mikir tentang ‘sapu’. Apakah saya membenci kisah itu, atau saya malah
kasihan? Saya memang benci ketika itu, tapi saya lebih suka meyebutnya I don’t care about it, no more. Saya sudah
tidak bisa berjalan pada koridor itu lagi, maka saya memilih mundur dan menjauh.
Kemudian akhir-akhir ini saya kasihan melihat beberapa posting yang saya sebut ‘pembuktian
diri’. Posting yang ingin menunjukkan kekuatan, tapi malah terlihat sangat
lemah di depan muka saya. Tapi saya hanya diam, tanpa komentar apapun karena
takut makin menyakiti.
Obrolan
dengan Echa selesai saat kami memutuskan untuk masuk ke dapur di rumah masing-masing.
*Masuk
dapur deh... Bantu (liat doank) ibu yang lagi goreng tempe.
Selamat
menanti berbuka. ^__^
I
solemnly swear that I am up to no good.
-JK. Rowling-
Picture here |
0 comments:
Posting Komentar