Jika
ditanya apakah saya memaafkan dia. Maka jawabnya adalah “IYA” tanpa koma, tanpa
tanda tanya. Saya akan menjawabnya dengan yakin dan lantang. Bisa saya pastikan
bahwa kesalahan dia sudah bersih saya maafkan. Without any rests.
Tidak
ada niat saya mengungkit apalagi menyuruh dia mohon maaf. Karena maaf bukanlah
sesuatu yang bisa dipaksa. Sudahlah. Saya juga tidak akan memohon-mohon agar
dia tinggal. No more. Tapi sungguh bahwa marah saya ternyata memang belum habis.
Really, saya tidak bisa menahan kekesalan tiap kali teringat semua hal. Kebahagiaan
maupun kesedihan.
Saya
tidak pernah berharap dia minta maaf pada saya. Saya tidak mengharap mendapat
ucapan hari raya dalam bentuk apapun. Saya tidak mengharapkan dia minta maaf
pada saya seperti dia minta maaf pada orang lain. Saya tidak mau membuat dia
merasa bahwa memberi ucapan hari raya atau pun minta maaf adalah hal yang wajib
dia lakukan. Saya tidak butuh basa-basi! Paham?
Hanya
saja tiap kali melihat tingkahnya, membuat saya memendam rasa ingin menumpahkan
amarah in front of his face. I swear! Bukan marah yang dibuat-buat, tapi marah
yang membuat saya sampai sesak menghela nafas. Saya eneg melihat apa yang dia
lakukan seolah dia tidak pernah menyakiti orang lain, bahwa dia hanya mencintai
satu wanita. Helloooooo... I know your story more than you’ve been thought,
boy. Your ass is in my hand!
Saya
tidak bisa tidak marah ketika mengingat pernyataan tentang ‘rasa yang selalu
sama pada orang yang sama’ pernah terlontar di depan muka saya. Saya lalu
mengatakan pada diri saya sendiri “Saya
memang tidak pernah dia harapkan. Rasa pada saya sebenarnya memang tidak pernah
ada. Yang ada hanya perasaan ingin berlindung sesaat. Setelah semua back to the
system, dia mudah saja meninggalkan saya. Saya dulu terlalu bodoh mempercayai
bahwa dia bisa bertahan dengan jarak. Ternyata...bullshit!” Semua
pernyataan yang terlontar recently membuat saya ingin minta dia agar dia mau
jujur pada public. Oh My God, I know it isn’t good idea, but sometimes I think
I should.
Saya
marah yang tidak saya buat-buat. Apalagi setelah dua kali dia berlagak sok
lupa. Saya tahu, itu adalah kesengajaan yang dia buat agar dia tidak ‘berutang’
pada saya. Saya tertawa saja. Tenang saja, I do the same thing, boy. See! Saya membuatnya
impas. Sesuai apa yang dia harapkan. Tentu saja.
Selebihnya
saya memaafkan semua kesedihan dan tangis yang dia buat pada saya. Tapi saya
memang belum bisa menghilangkan rasa marah saya, meski saya tidak lagi
menyimpan perasaan apapun padanya. Hati saya sudah mati rasa untuk merasakan hangatnya
matahari. Dan saya sudah tidak lagi meyalahkan dia atas mati rasa yang saya
alami. I may forgive him but I never forget all things he makes me feel; happy
and sad, smile and cry.
Forgiveness
is the attribute of the strong
-Mahatma Gandhi
Picture here |
0 comments:
Posting Komentar