Saya
gemas sekali memandangnya. Saya sering kali tersenyum geli melihat tingkah
lucunya yang seperti ingin mengabaikan keberadaan saya di hadapannya. Tapi saya
punya banyak cara untuk membuatnya kembali berpaling pada saya. Dan dia kadang
setengah terpaksa memandang saya. Menggemaskan.
Meski
tak terlalu menancap dalam ingatan, saya masih ingat beberapa ekspresinya. Usahanya
untuk tetap fokus pada saya begitu menggemaskan. Padahal saya tahu pikirannya
sering berada jauh, sedang memikirkan seorang gadis lain. Saya suka
menggodanya. Hingga membuatnya mau tak mau kembali menatap saya.
Saya
suka sekali mengacak rambutnya yang lurus dan kaku. Dia tidak protes. Rambutnya
dibiarkan berantakan akibat ulah saya. Namun saya sering tak tahan untuk
mengulurkan tangan dan merapikan rambut itu dan dia mengacaknya lagi.
Masih
jelas dalam ingatan betapa kakunya dia ketika pertama kali kami bertemu. Tapi saya
segera menyadari, it was our first meeting. Setelah itu, segalanya mencair. Dia
mulai menikmati kebersamaan kami. Saya pun belajar melihat bagaimana dia
menjalani hari-harinya. Unik. Seru. Saya belajar lebih dalam lagi tentang bagaimana
melihat dia dari kacamata saya dan kacamata dia.
Dua
kali seminggu kami berjumpa. Dalam satu kotak yang ada hanya kami. Dia dan
saya. Menikmati ekspresi-ekspresinya. Tersenyum, ngantuk, malas, bersemangat,
dan ekspresi lain.
Ketika
dia mencium tangan saya di tiap akhir perjumpaan membuat saya trenyuh. If I
were him, I won’t be that though. Dunianya, jiwanya, perasaannya begitu halus. Menjalani
hari sebagai anak yang harus menurut pada orang tua, namun juga ingin menikmati
dunianya yang penuh dengan penghabisan energi positif.
Saat
ini saya sedang membuat soal untuk UTSnya minggu depan.
Honestly,
I love being with you, kiddo.
I
learn many things from how you solve your unspoken feeling.
Picture here |
0 comments:
Posting Komentar