Saat itu beberapa tahun
yang lalu, masih kuingat jelas mereka menghujatnya. Selalu. Di hadapanku. Aku memilih
berdiam. Aku tanpa argumen, dan hanya geleng-geleng kepala kemudian berlalu.
Saat itu beberapa bulan
yang lalu, masih kuingat jelas aku menyapanya. Hanya sekedar. Saat itu aku
telah mengerti dia bukan yang akan hadir, bahkan sebelum dia hadir.
Dan mereka memohon
kepadaku, demi sayang mereka padaku, untuk meninggalkan semuanya. Aku tanpa
argumen, dan hanya geleng-geleng kepala kemudian berlalu, karena aku telah
berlalu.
Aku tidak tersakiti, aku
hanya memilih diam tanpa mengatakan apa yang sejujurnya kurasa.
Lebih dari sakit?
Mungkin iya, mungkin tidak.
Membuat menangis?
Maaf, aku tersenyum terlalu manis untuk mengatakan
bahwa itu sebuah tangis.
Gundah atau kecewa?
Tak ada alasan kuat untuk mengatakan bahwa itu
benar atau salah. Aku diam.
Pun aku tak mengatakan
apa-apa pada mereka. Aku menjaga agar tak ada lagi hujatan, tak menambah lagi
kekesalan. Terlebih, semua memang memilih untuk mengatakan apa yang terbaik. Aku
pun masih memilih diam, karena dia dan mereka lebih tahu, lebih mengerti, lebih
paham.
Dia akan mengerti bahwa aku
tak pernah mencoba bermain, dengan cara aku mengabaikan semua yang mereka
sampaikan padaku tentang dia.
Mereka pun akan mengerti
bahwa aku tak pernah mencoba bermain, dengan cara aku memilih untuk percaya dia,
meski sejengkal batinku ragu.
Selebihnya, aku diam.
Akan ada masa di mana semua hal menjadi sangat baik
atau pun sangat buruk, lebih dari apa yang pernah kita bayangkan. Masa itu adalah
saat kesadaran berada pada hati dan pikiran yang tepat. Masa itu tidak pernah
datang terlambat, kita hanya harus menanti. (Naa)
I’m the heroin of my life, not the victim.
Pict borrow here! |