Lagi-lagi
saya berbuat ‘keterlaluan’. Mungkin saya memang kembali patah hati. Patah tepat
di patahan yang telah hampir mengering.
Agak
dramatis, memang. Karena setelah baik-baik saja, maka ternyata hati saya masih
juga terusik oleh hal yang sama. Kebodohan, memang. Hanya mampu menarik nafas
dalam ketika sesuatu yang buruk terjadi. Kesalahanku, memang. Telah sangat
sakit dan berkali-kali tapi masih bisa kembali, kembali lagi, dan lagi-lagi
kembali.
Jika
akhirnya saya ‘berteriak’, maka itulah yang saya inginkan agar mereka dengar. Saya
sudah memohon berjuta kali, tapi saya akhirnya lelah. Saya lelah menjadi
penafsir.
Maka
ketika –yang mereka sebut- hati saya kembali retak, saya tidak mampu
menahannya. Kaki saya bergetar demi menahan luapan rasa yang selalu secara
jelas saya tampilkan lewat lagu, mata, kata, dan cerita.
Sudahlah.
Rasa sayang dan segala bentuk yang menyertai biarlah menguap. Melebur dalam
tanah seperti embun pagi yang dicium mentari pagi. Seperti embun yang hanya
mampu mengintip pesona maha dari sang penguasa langit siang, selanjutnya ia hilang
dengan membawa pergi segala harapan.
Kamu,
Kecuplah mimpi indahmu. Abaikan
semua tentangku. Tentang pesan dan tentang suara. Pun tentang pendar yang
pernah kamu lihat di mataku ketika ada di hadapanmu. Pendar yang entah kapan
akan menyala lagi setelah kotak besar besar itu menelanmu dan membawamu jauh
untuk selamanya. Atau mungkin kini telah benar-benar padam setelah penegasanmu
bahwa suaraku hanya pengganggu pagimu.
Kamu,
Terima kasih untuk saat
terindah -yang kuharapkan membeku- ketika bersama. Tapi akhirnya hanya beku di
dalam tubuhku dan mengapung di permukaan dadaku tanpa pernah kutahu kapan bisa
tenggelam dan terendap ke dasar.
Kamu,
Maaf telah memaksamu 'hadir'. Seharusnya memang
tak pernah ada ‘permintaan’ itu. Maaf.Picture here |
0 comments:
Posting Komentar