Hingga
hari ini, sejujurnya, saya belum membaca hasil jadinya. Padahal saya punya 10,
yang diberikan secara cuma-cuma. Walau sudah tidak lengkap 10, tapi tetap saja
saya bilang masih utuh.
Saya
kirim sebuah untuk sepupu di Tangerang. Sebuah yang lain saya berikan pada
teman kuliah dulu. Dan satu lagi saya berikan kepada sahabat lama yang sangat
baik. Selebihnya, masih tersimpan di rak buku saya.
Baiklah,
saya memang menulisnya. Semuanya ide saya. Saya yang punya alur dan
menuangkannya dalam deretan tulisan. Tapi hanya dari otak. Otak saja.
Oh dammit!
Efek
dari tidak menggunakan hati, maka seperti inilah. Saya tidak membaca hasil
jadinya mulai awal hingga akhir. Bukan karena saya sudah hapal. Bukan! Bukan karena
saya percaya pada editor saya. Bukan! Bukan pula karena saya tidak percaya pada
editor saya. Bukan karena semua hal itu kok.
Saya
sadar diri. Sangat menyadari bahwa apa yang telah saya tulis hanyalah karangan
otak, tanpa hati. Sekali lagi, tanpa hati.
Ketika
dulu saya membaca novel Perahu Kertas (lalu menonton film-nya), saya sangat
menyukai bagian ketika Keenan dan Kugy terpaksa menunggu kereta berjalan lagi
karena ada longsor. Di bagian itu Keenan dengan jujur mengatakan pada Kugy
bahwa cerpen yang ditulis Kugy bukan seperti ‘gaya’ Kugy.
Harapan
saya satu, kalau suatu hari saya menulis karena ‘pasar’ maka saya ingin ada
orang yang mengatakan hal semacam itu. Saya ingin ada orang yang menyadari ‘penyimpangan’
itu.
Seseorang
mengatakannya!
Iya,
3 hari yang lalu.
Seseorang
mengatakan bahwa tulisan saya ‘berbeda’.
Saya
bukan tidak menyadari hal itu. Ketika saya akhirnya menyelesaikan novel pertama
saya, maka saya otomatis menyadari keadaan itu. Keinginan saya adalah ada
seseorang yang, orang lain, yang mengatakan hal itu. Maka bisa saya pastikan
bahwa orang tersebut sangat mengenal saya lewat apa yang saya tulis. Karena ekspresi
tebesar saya adala melalui tulisan.
Saya
tidak pandai menyampaikan sesuatu pada orang lain, tapi tulisan saya kadang
menjadi hal yang mewakili hati saya lebih dari apapun yang bisa saya sampaikan
langsung. Dan itulah yang ingin saya dengar dari orang yang membaca tulisan
saya.
Sahabat
saya yang mengatakan tentang ‘penyimpangan rasa’ dari tulisan saya ini adalah
teman lama yang bahkan sudah sangat lama tidak bertemu atau berkomunikasi. Selain
jarak yang jauh, tentu saja masalah nomer ponsel yang ganti jadi masalah besar.
Tapi saya sungguh bahagia, ada seseorang yang ‘memahami’ saya melalui tulisan.
Kepadamu,
Aku tidak pernah
memintamu untuk memahami semua itu dan mengatakan padaku, tapi kamu
merasakannya. Terima kasih, dear friend. It means a lot for me.
When you know better you do better.
- Maya Angelou
Picture here |
0 comments:
Posting Komentar