Friend:
Apa kabar?
Me:
Baik..baik banget malahan.
Friend:
Kok jawabnya dingin banget? Kamu marah sama aku?
Me:
Marah apaan?! Nggak. Aku baik-baik kok.
Friend:
Kamu lagi ada masalah ya? Cerita deh sama aku.
Me:
Aku nggak apa2. Aku sangat baik-baik.
Friend:
Jawaban yang sama menandakan bahwa hati mengatakan berbeda.
Me:
Pengulangan jawaban itu menandakan penegasan.
Friend:
Memang pengalaman traumatik bikin orang tertutup.
Olalaaa...
Saya malah jadi bengong membaca sms teman saya itu. Saya tidak tahu bahwa masih
begitu orang yang menganggap saya belum bisa moved-on dari perasaan lama saya.
Seandainya
mereka tahu... Saya sudah lama meninggalkan semua luka lama itu. Saya sudah
jauh melangkah dari harapan untuk bisa kembali pada harapan yang dibuat semu
untuk saya. Dan saya bisa pastikan bahwa sampai pada perjalanan saya hari ini,
saya memang baik-baik saja. Kalau kalimat “AKU SANGAT BAIK-BAIK” dirasa masih
belum cukup untuk mengejawantahkan apa yang saat ini sedang saya hadapi, maka
saya tidak tahu harus menggunakan kalimat apa yang lebih tepat.
Ketika
beberapa bulan lalu saya putus, seorang teman saya masih juga mengatakan, “Pasti
karena dia lagi.” Penyangkalan saya berbuah anggapan bahwa saya memang masih
larut dalam masa lalu saya. Sampai akhirnya saya hanya bisa garuk-garuk kening.
Saya bingung. Benar-benar bingung mengatakan pada orang di sekitar saya, bahwa
kiblat hati saya sudah saya ubah.
Beberapa
minggu yang lalu teman yang lain mengatakan hal yang juga membuat saya
ternganga. Ketika kami sedang membaca buku masing-masing tapi TV disetel dengan
volume lirih. Saya tidak tahu acara apa yang ada di TV, tapi saya ingat sekali
bahwa suara di TV mengatakan “Hati yang terlalu disakiti membuat
seseorang tersebut menjadi mati rasa dan membutuhkan waktu lama untuk
menyembuhkan. Bahkan bisa saja tidak bisa disembuhkan.”
Teman saya rsecara reflek langsung menyahut, “Itu kamu banget deh.”
Saya
memang pernah sakit hati, karena merasa disakiti. Saya yang merasa disakiti,
karena saya idak tahu apakah orang lain tahu bahwa dia ketika itu sedang menyakiti
saya. Saya pernah menangis. Saya pernah hampir putus asa. Saya pernah merasa
bahwa saya tidak pantas untuk siapa pun. Saya pernah merasa saya bodoh, hina,
hancur dan segalanya.
Tapi
itu dulu.
Sekarang
saya sudah bangkit. Saya berusaha mengobati luka saya sendiri. Saya mencoba
hidup dengan mensyukuri apa yang sudah saya miliki ataupun yang belum/tidak
saya miliki. Karena saya tahu, tidak akan ada dokter atau dukun mana pun yang
mampu menyembuhkan sakit saya kecuali saya sendiri.
Sedikit
kutipan dari Shahnaz Haque yang tadi sempat saya lihat di infotainment, “Wanita yang kuat adalah wanita yang
tersenyum, optimis, penuh harapan, selalu berusaha, dan selalu percaya pada Tuhan. Tak ada dokter yang lebih baik dari diri kita sendiri. Dokter di rumah sakit
hanya membantu menyembuhkan, tapi dokter terbaik adalah diri kita sendiri.”
For
every complex problem there is an answer that is
clear,
simple, and wrong.
~ H. L. Mencken