Tak
ada istimewanya menjadi anak guru, bahkan meski mempuanyai orang tua yang
keduanya guru. Aku tahu, bukan hany aku anak guru di negeri ini. Milyaran orang
punya orang tua yang berprofesi sebagai guru. Jadi memang benar-benar tak ada
yang spesial ketika aku mengakui diriku sebagai anak guru. Karena begitu aku
membuka pintu rumah, maka akan sangat banyak ditemui anak guru.
Sekian
puluh tahun menjalani profesi sebagai guru, aku yakin orang tuaku cukup akrab
dengan berbagai problematika kehidupan guru. Mulai dari menyiapkan materi yang
sangat mudah dan telah beliau kuasai bertahun tahun. Hingga kerutan kening
tentang perubahan kurikulum yang mudah sekali diubah sewaktu-waktu oleh mereka
yang (katanya) pakar bin ahli dalam perkurikuluman. Sebagai anak, tentu saja
aku ikut merasakan apa yang mereka rasa dan pikir dari masa ke masa.
Guru:
digugu
lan ditiru, dipercaya dan
diteladani. Begitu orang Jawa membuat kerata
basa (akronim, dalam bahasa Indonesia) tentang kata ‘guru. Bahkan dalam
pewayangan Jawa terkenal sekali Batara Guru yang merupakan raja kahyangan. Batara
Guru juga digambarkan sebagai Dewa yang menurunkan ilmu. Lihatlah, betapa orang
menghargai guru.
Dan
begitu banyak pula yang bertestimoni bahwa menjadi guru adalah pekerjaan yang
nyaman. Pernah mendengar ungapan semacam ini: Menjadi guru itu enak, kalau
muridnya libur pasti libur juga. Atau ungkapan ini: Jadi guru itu enak, gajinya
banyak dan dapat tunjangan sertifikasi pula. Mungkin bagi sebagaian orang,
kalimat tersebut adalah sanjungan, tapi ada juga yang mengucapkan kalimat
tersebut sebagai sindiran.
Beberapa
yang menuturkannya sebagai pujian karena melihat guru bekerja di tempat yang
bersih, bukan tempat berlumpur. Juga guru bekerja di tempat yang teduh,
sehingga tidak harus terlalu kerepotan ketika panas atau hujan. Dan satu yang
pasti, menjadi guru itu sudah pasti mendapat gaji tiap bulan.
Tapi
tak jarang beberapa oknum malah jadi nyinyir melihat kondisi guru. Mereka melihat
bahwa pekerjaan guru itu mudah dan nggak ada repotnya. Yaa...itu tadi
pernyataan bahwa guru bisa libur ketika muridnya libur. Kalimat itu ada
benarnya, tapi tidak 100% benar.
Guru
punya tuntutan yang begitu besar. Tunjangan sertifikasi haru dibarengi dengan
penyerahan berkas yang seabrek-abrek. Belum lagi persyaratan itu wajib
diserahkan dalam bentuk ketikan rapi dan syarat-syarat lain. Aku tahu, memang
itulah tugas guru. Tapi harap disadari bahwa tidak semua guru mahir
mengoperasikan komputer, bahkan (hanya) mengetik di Ms. Word.
Mau
bukti? Orang tuaku buktinya. Mulai berlangsungnya sertifikasi guru adalah
sekitar 8 tahun lalu dan ketika itu usia orang tuaku sudah mencapai 50 tahun. Semua
berkas dan persyaratan sertifikasi harus diketik rapi dengan berbagai macam
peraturannya. Setelah lulus sertifikasi masih pula semua perangkat mengajar
harus berupa ketikan rapi. Maka mulailah orang tuaku bersentuhan dengan
teknologi yang bernama ‘komputer’, yang sedianya hanya menjadi pegangan buatku
atau kakakku. Beliau belajar untuk bisa mengoperasikan komputer dengan segala
pernak-pernik yang (kata orang yang sudah ahli) bisa membantu mempermudah
pekerjaan.
Bagi
guru muda, semua itu mudah. Tapi tidak bagi guru tua. Orang tuaku belajar
menggunakan komputer dan laptop dalam pembuatan semua perangkat. Namun bagi
orang yang usianya tidak lagi muda ada saja kendala yang dialami. Keadaan fisik
juga kemampuan mengoperasikan. Mulai dari mata yang mudah lelah ketika
menghadap layar laptop atau komputer, hingga punggung yang tak lagi kuat
digunakan untuk duduk berlama-lama. Faktor usia. Juga kebingungan-kebingungan
yang terjadi ketika harus menggunakan beberapa aplikasi agar lebih memudahkan
pekerjaan.
Belum
lagi menghadapi siswa dengan berbagai masalahnya. Mulai dari bolos hingga
pelecehan seksual. Dalam sebulan terakhir ini, ibu saya mulai mengungkapkan keprihatinan
beliau terhadap keadaan siswanya yang tidak lagi mampu dikendalikan. Masuk kelas
ketika guru sudah di dalam kelas, tidur ketika pelajaran padahal berlarian
riang gembira ketika jam istirahat dan yang paling baru adalah pelecehan
seksual kepada teman wanitanya.
Menanggapi
segala pendapat masyarakat di luar sana, ibu selalu berpesan, “Tidak ada pekerjaan
yang mudah. Semua pekerjaan halal itu mulia. Ketika seseorang atau banyak orang
nyinyir dengan profesimu, jangan latas balik menyinyiri mereka. Mereka hanya belum
paham bagaimana menghargai profesi orang lain.” Berbeda dengan kata bapak, “Hidup
di dunia itu hanya sebentar. Profesi apapun yang kamu tekuni, jalankanlah
dengan ikhlas dan diniatkan ibadah. Pekerjaan itu adalah amanah dan tanggung
jawab kita terhadap diri kita sendiri dan Allah.”
Seberat
apapun orang tua saya menjalani profesi sebagai guru, beliau tidak pernah mengeluh
menjadi guru. Beliau selalu punya banyak cerita ketika pulang ke rumah. Berbagai
kisah tentang atasan, berbagai kisah tentang aturan, berbagai kisah tentang
rekan kerja, dan tentu saja berbagai kisah tentang murid.
Sekali
lagi, tidak ada yang istimewa ketika menyandang ‘gelar’ sebagai anak guru. Tapi
selalu menjadi istimewa bagiku ketika beliau membawa cerita menarik ke rumah
dan kami membahasnya dalam diskusi panjang hingga pada akhirnya selalu ada
pelajaran yang aku dapatkan ketika cerita itu berubah menjadi diskusi.
I proud being born
as my parents’ daughter,
I swear
Here this is the picture's link |
Posting
ini dikutsertakan dalam BLOG COMPETITION 2012 yang diadakan oleh GERAKAN INDONESIA BERKIBAR.
0 comments:
Posting Komentar