Mimpi
Masih sama. Masih utuh. Aku bersandar pada ketiadaan untuk memandang bintang. Menatapnya sendiri. Sempat kuberharap menangkap bayangmu pada kilaunya. Hingga akhirnya kusadari kemustahilan itu.
Kamu mungkin telah asyik menikmati bintang pada langit yang lain. Atau kau mungkin tak ingat pernah bersamaku di bawah bintang. Kita berdua, hanya aku dan kamu, berbicara tentang lagu-lagu tanpa sedikit pun mengucap rindu.
Ah, sudahlah. Aku terpaksa harus menata hatiku lagi. Memintanya berhenti menangis menghadapi keras hatimu. Dan setengah mati berusaha menahan diri agar tidak lagi bertanya mengapa hanya sedikit hati yang kau beri untukku. Aku akan mencoba tidak bertanya, meski aku belum menemukan jawabnya.
Jika suatu hari aku mati lebih dulu darimu, aku tidak ingin menjadi bintang yang bisa kau lihat. Aku akan menyimpan semua tanyaku sendiri. Membiarkan langit perlahan menghapus lukaku dan tidak lagi bertanya apakah kau ingat bahwa kita bersama pernah bersama-sama membalut luka.
Oiya...aku lupa bahwa kamu pelupa. Atau mungkin sengaja lupa.
Bagimu, memang aku-lah yang selalu tidak mau mendengarmu. Tapi pernahkah kamu mendengar bahwa aku aku ingin kamu bersamaku. Pernahkah kamu dengar? Oh, maaf, aku lupa lagi bahwa kau pelupa.
Hanya satu hal yang aku ingin dari kita, tapi itu sudah membuatmu kesal setengah mati dan tidak berharap memaafkan aku. Seburuk itu kah aku di matamu? Sekesal itukah kamu menghadapi permohonanku untuk bisa bersamamu?
Jika semua yang kukatakan kau anggap bahwa itu yang harus kamu lakukan. Maka aku tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk memecahkan kepala batumu dan membuka lebar matamu bahwa aku tidak pernah serendah yang kamu pikir.
Baiklah, kamu memang punya hati dan otak sendiri. Aku akan mencoba bermimpi sendiri, bahwa kau akan mau mendengarku.
Mungkin hanya mimpi.
Labels:
Bintang,
Blabbering,
Life
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar