Meski
hujan memang tak pernah punya apapun untukku, setidaknya gerimis punya.
Gerimis
pernah melambungkan harapanku tentang sebuah kebohongan.
Gerimis
pernah menemaniku dalam dinginnya batu yang keras.
Gerimis
pernah menjadi saksi bagaimana aku persembahkan rasaku.
Bukan
tentang siapa atau kenapa.
Hanya
tentang aku yang tiba-tiba sangat lelah mencari ruang yang cukup untuk
meluruskan punggung dan memijit kaki. Ternyata memberi terbaik sepenuh hati
belum bisa menjadi jaminan bahwa akan diberi yang terbaik. Atau benar bahwa sakit
itu memang paling mungkin ditimbulkan oleh orang yang kita percaya untuk
menjaga hati.
Aku sudah
berhenti memandang semua gambar tentang harapan, tapi ternyata ada partikel melekat
di otakku masih yang belum terhapus dengan sempurna. Berbagai bentuk rasa yang
menyakitkan dan membuat tak mampu bergerak itu masih membelenggu kepalaku. Dan membuatku
membatin, “Ternyata beginilah menjadi sampah yang dicampakkan.”
Semua
memang berputar. Dan aku kembali di sini, di sudut gelap yang memaksaku kalah
pada sebuah abstraksi bernama ‘rasa’. Dan sebuah kecupan lembut sang kenangan
membawaku jatuh semakin dalam mimpi buruk termanis.
Bukan
tentang siapa dan kenapa.
Ini tentang
aku yang tidak bisa membedakan rasa dan dosa. Juga tentang aku yang tak bisa membedakan
lagu rindu atau lagu patah hati. Masih tentang aku yang selalu mendendangkan
nada sama pada bait yang berbeda.
Kini
semua sudah berubah. Semuanya serba abu-abu untukku, bukan untuk siapa pun. Tidak ada
yang akan kembali seperti semula. Tidak akan seperti kemarin. Bahkan laguku telah berbeda nada.
Memories
warm you up from the inside. But they also tear you apart.
-Haruki Murakami
Picture here |
0 comments:
Posting Komentar