Dear MIH,
Tanggal dan tahun bergulir normal, senormal rasa dan pikirku berjalan pada lintasan. Dan, aku terlalu menikmati menjadi aku yang hanya kau kenal lewat pandangan sekilas, kecupan sekilas, dan rasa sekilas.
Aku ingin merasa bahagia bersamamu maupun tak bersamamu, berulang-ulang tanpa jeda. Mencoba melewati waktu untuk tak lepas memandang waktu berlari melewatiku yang senyap tanpa senyummu: menunggumu. Meski aku tahu, setiap detik adalah resapan rasa yang mengalir perlahan melalui mata batin jaman.
Andai kau mampu membaca tiap jengkal tanah yang kujejaki dengan hujan rindu, mungkin bumiku tak akan se-kemarau ini. Di atas segala badai yang mendera ketidakwarasanku, di antara rintihan panas yang menyengat perih dadaku, di dalam gemuruh yang memenuhi perjalananku, satu jiwaku kuserahkan utuh pada langit rasa yang teramat tinggi.
Tidak akan lelah kunantikan kotak suratku penuh akan pertengkaran yang kurindu atas nama ego kita. Lalu sesaat kemudian logika kita mati oleh debar yang membuat kita tersenyum dalam jarak ribuan mil. Tapi, kucukupkan tersenyum dalam rinai yang tak kering dalam ingatan tentang seribu bintang yang kita akan selalu kita pandang; hanya kita berdua.
Kau adalah impian yang masih termimpikan di antara langkah minimalis yang tak kutinggalkan di sela badai. Jika suatu petang hanya akan ada seorang dari kita, maka dia adalah dirimu; aku telah mati dalam resahku.
Maka, biar aku memeluk kisah kita di mimpi panjangku! Aku telah tahu di mana aku akan jatuh; dalam peluk jantungmu. Bersamamu ataupun tanpamu, aku tahu bahagia itu tidak akan pernah abadi.
picture from here |
Di pusat badai rasaku, kamu adalah perjalanan ketabahan yang menguras kewarasan, juga ingkar logika. Satu detik yang berlalu adalah buncah getar yang gemetar; demi dan atas nama keakuan perasaan; utuh tulus untuk bersamamu.
~Moammar Emka~
0 comments:
Posting Komentar